5.31.2009

Mengintegrasikan Blog dalam Aktifitas Pembelajaran, Mungkinkah?

Blog sebagai media menulis di Internet selama ini oleh sebagian besar blogger (sebutan untuk para pengguna blog) hanya difungsikan sebagai media curahan hati untuk menuliskan catatan harian saja, padahal blog dapat difungsikan lebih dari sekedar diary online. Dalam bidang pendidikan misalnya, blog dapat difungsikan sebagai media pengajaran dalam kelas-kelas yang ada untuk mendukung dan aktifitas pembelajaran. Simak selengkapnya dalam penjelasan-penjelasan berikutnya

Penerapan E-Learning (pembelajaran elektronik) dalam lembaga pendidikan yang ingin memasukkan ICT (Information and Communication Technology) dalam proses pendidikan salah satunya dapat dilakukan menggunakan Blog. Biasanya lembaga pendidikan tinggi (universitas) menggunakan LMS (Learning Management System) untuk menyediakan virtual classroom (ruang kelas virtual) di Internet. Virtual classroom yang dimiliki biasanya memiliki banyak metafora ruang kelas konvensional seperti forum diskusi, pengumpulan tugas, katalog/perpustakaan bahan ajar, katalog hyperlink dan lain sebagainya. Lembaga pendidikan tinggi yang memiliki dana besar dan sumber daya pengembang IT mumpuni biasanya melakukan pengembangan LMS sendiri. Bagi lembaga yang memiliki dana besar tetapi tidak mampu melakukan pengembangan biasanya membeli atau menyewa LMS dari pihak ketiga, tetapi bagi lembaga yang memiliki dana dan sumber daya pengembang yang kurang, biasanya menggunakan aplikasi LMS gratis dan open source semacam Moodle (http://moodle.org).

Namun, bagi lembaga pendidikan yang hanya memiliki koneksi Internet saja dan tidak memiliki server-server yang dikelola sendiri, dapat memanfaatkan layanan Blog gratis yang banyak tersebar di Internet. Bagi institusi yang memiliki server web dan domain yang dikelola sendiri dapat melakukan instalasi blog engine semacam Wordpress (http://wordpress.org) ke dalam server-nya. Layanan Blog gratis yang dapat digunakan, salah satunya adalah Edublogs (http://edublogs.org), yaitu sebuah layanan blog gratis yang diperuntukkan bagi para pendidik, pustakawan, penulis, peneliti dan laboran. Blog yang dikhususkan pagi para pendidik profesional ini memiliki banyak fitur pada versi terbarunya. Penulis sendiri memilih menggunakan layanan Blog ini dibanding menggunakan layanan blog gratis lainnya (Blog penulis beralamat di http://gora.edublogs.org). Praktisi pendidikan dari ITB (Institut Teknologi Bandung) yang juga seorang praktisi IT, Bapak Budi Rahardjo juga memiliki sebuah blog di Edublogs dengan alamat http://budi.edublogs.org.

Bagaimana mengintegrasikan penggunaan Blog dalam aktifitas pembelajaran? Penulis memberikan dua contoh skenario integrasi Blog dalam proses pembelajaran. Pada skenarion pertama, para pengajar dapat menggunakan Blog untuk menampilkan informasi perkuliahan, bahan ajar yang siap dodownload, daftar hyperlink sebagai referensi siswa, melakukan pemberian tugas dan menampilkan hasil penelitan dosen, untuk kemudian siswa dapat mengunjungi Blog tersebut untuk membaca informasi perkuliahan yang diampu dosen bersangkutan, men-download bahan ajar serta memberikan pertanyaan dan komentar atas informasi yang tersedia, sehingga informasi akan berjalan dua arah dan interaktif, tidak hanya dari dosen ke mahasiswa, tetapi juga dari mahasiswa ke dosen.

Skenario kedua adalah dosen memberikan tugas ke mahasiswa secara lisan dan ditayangkan dalam Blog dosen bersangkutan, untuk mengumpulkan tugas, mahasiswa harus menuliskan tugasnya dalam Blog pribadi mahasiswa. Cara penilaian dilakukan dosen dengan mengunjungi Blog mahasiswa, untuk kemudian memberi komentar pada tugas yang ditampilkan dalam Blog tersebut. Dengan cara seperti ini, mahasiswa tidak hanya bertanggung jawab atas isi tugas kepada dosen saja, melainkan bertanggung jawab pula kepada publik sebagai pembaca, yang tersebar di seluruh dunia. Selain mendidik dan mengenalkan mahasiswa menulis menggunakan media Internet, skenario seperti ini juga mampu mendongkrak nama institusi pendidikan di dunia maya serta melatih mahasiswa untuk berbagi ilmu dengan orang lain.

Media yang dimuat dalam Blog-pun beragam, tidak sekedar teks, gambar dan hyperlink dan file saja. Layanan Edublogs misalnya, menyediakan fasilitas untuk memasukkan media video dan animasi kedalam setiap posting yang dibuat. Konten video yang dimasukkan merupakan video yang telah dihosting-kan dalam layanan video hosting YouTube, GoogleVideo dan i-Film. Sedangkan format animasi yang dapat dimasukkan berupa animasi Flash (*.swf) dan Macromedia Director (*.dcr). Bahkan tersedia berbagai macam Plugin, bagi pengguna blog engine Wordpress yang memungkinkan dosen melengkapi blog-nya dengan fasilitas polling, survey serta galeri galeri foto.

Lewat integrasi Blog dalam aktifitas pembelajaran diharapkan jam tatap muka antara mahasiswa dan dosen diharapkan dapat meningkat. Selain itu diskusi yang terekam/tersimpan dalam fasilitas komentar yang tersedia dapat pula menjadi referensi tambahan bagi para pembaca blog. Lain dengan aktifitas diskusi dalam kelas tatap muka di kelas konvensional, diskusi dalam blog akan selalu tersimpan dan dapat dilihat serta dibaca kapan saja. Untuk memulai menerapkan E-Learning tidak perlu mengeluarkan biaya mahal, bagi para pengajar, ayo buat kelas di dunia maya!, ayo buat blog sekarang juga!

Pembelajaran elektronik

Sistem pembelajaran elektronik atau e-pembelajaran: Electronic learning disingkat E-learning) adalah cara baru dalam proses belajar mengajar. E-learning merupakan dasar dan konsekuensi logis dari perkembangan tekhnologi dan komunikasi. Dengan e-learning, peserta ajar (learneratau program pendidikan.

atau murid) tidak perlu duduk dengan manis di ruang kelas untuk menyimak setiap ucapan dari seorang guru secara langsung. E-learning juga dapat mempersingkat jadwal target waktu pembelajaran, dan tentu saja menghemat biaya yang harus dikeluarkan oleh sebuah program studi

Seperti Sebagaimana yang disebutkan di atas, e-learning telah mempersingkat waktu pembelajaran dan membuat biaya studi lebih ekonomis. E-learning mempermudah interaksi antara peserta didik dengan bahan/materi, peserta didik dengan dosen/guru/instruktur maupun sesama peserta didik. Peserta didik dapat saling berbagi informasi dan dapat mengakses bahan-bahan belajar setiap saat dan berulang-ulang, dengan kondisi yang demikian itu peserta didik dapat lebih memantapkan penguasaannya terhadap materi pembelajaran.

Dalam e-learning, faktor kehadiran guru atau pengajar otomatis menjadi berkurang atau bahkan tidak ada. Hal ini disebabkan karena yang mengambil peran guru adalah komputer dan panduan-panduan elektronik yang dirancang oleh "contents writer", designer e-learning dan pemprograman komputer.

Dengan adanya e-learning para guru/dosen/instruktur akan lebih mudah :

  1. melakukan pemutakhiran bahan-bahan belajar yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan tuntutan perkembangan keilmuan yang mutakhir
  2. mengembangkan diri atau melakukan penelitian guna meningkatkan wawasannya
  3. mengontrol kegiatan belajar peserta didik.

Kehadiran guru sebagai makhluk yang hidup yang dapat berinteraksi secara langsung dengan para murid telah menghilang dari ruang-ruang elektronik e-learning ini. Inilah yang menjadi ciri khas dari kekurangan e-learning yang tidak bagus. Sebagaimana asal kata dari e-learning yang terdiri dari e (elektronik) dan learning (belajar), maka sistem ini mempunyai kelebihan dan kekurangan.

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pembelajaran_elektronik


Pembelajaran Konvensional

Seorang guru dituntut untuk menguasa berbagai model-model pembelajaran, di mana melalui model pembelajaran yang digunakannya akan dapat memberikan nilai tambah bagi anak didiknya. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya dari proses pembelajarannya adalah hasil belajar yang optimal atau maksimal.

Namun, salah satu model pembelajaran yang masih berlaku dan sangat banyak digunakan oleh guru adalah model pembelajaran konvensional. Model ini sebenarnya sudah tidak layak lagi kita gunakan sepenuhnya dalam suatu proses pengajaran, dan perlu diubah. Tapi untuk mengubah model pembelajaran ini sangat susah bagi guru, karena guru harus memiliki kemampuan dan keterampilan menggunakan model pembelajaran lainnya.

Memang, model pembelajaran kovensional ini tidak serta merta kita tinggal, dan guru mesti melakukan model konvensional pada setiap pertemuan, setidak-tidak pada awal proses pembelajaran di lakukan. Atau awal pertama kita memberikan kepada anak didik sebelum kita menggunakan model pembelajaran yang akan kita gunakan. Menurut Djamarah (1996) metode pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan.

Selanjutnya menurut Roestiyah N.K. (1998) cara mengajar yang paling tradisional dan telah lama dijalankan dalam sejarah Pendidikan ialah cara mengajar dengan ceramah. Sejak duhulu guru dalam usaha menularkan pengetahuannya pada siswa, ialah secara lisan atau ceramah. Pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh para guru. Bahwa, pembelajaran konvensional (tradisional) pada umumnya memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hapalan daripada pengertian, menekankan kepada keterampilan berhitung, mengutamakan hasil daripada proses, dan pengajaran berpusat pada guru.

Metode mengajar yang lebih banyak digunakan guru dalam pembelajaran konvensional adalah metode ekspositori. Menurut Ruseffendi (1991) metode ekspositori ini sama dengan cara mengajar yang biasa (tradisional) kita pakai- pada pengajaran matematika”. Kegiatan selanjutnya guru memberikan contoh soal dan penyelesaiannya, kemudian memberi soal-soal latihan, dan siswa disuruh mengerjakannya.

Jadi kegiatan guru yang utama adalah menerangkan dan siswa mendengarkan atau mencatat apa yang disampaikan guru. Subiyanto (1988) menjelaskan bahwa, kelas dengan pembelajaran secara biasa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : pembelajaran secara klasikal, para siswa tidak mengetahui apa tujuan mereka belajar pada hari itu.

Guru biasanya mengajar dengan berpedoman pada buku teks atau LKS, dengan mengutamakan metode ceramah dan kadang-kadang tanya jawab. Tes atau evaluasi yang bersifat sumatif dengan maksud untuk mengetahui perkembangan jarang dilakukan. Siswa harus mengikuti cara belajar yang dipilih oleh guru, dengan patuh mempelajari urutan yang ditetapkan guru, dan kurang sekali mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapat.
Banyak kita temukan di lapangan bahwa selama ini pembelajaran matematika didominasi oleh guru melalui metode ceramah dan ekspositorinya.

Disamping itu, menurutnya guru jarang mengajar siswa untuk menganalisa secara mendalam tentang suatu konsep dan jarang mendorong siswa untuk menggunakan penalaran logis yang lebih tinggi seperti kemampuan membuktikan atau memperlihatkan suatu konsep. Hal senada ditemukan oleh Marpaung (2001) bahwa dalam pembelajaran matematika selama ini siswa hampir tidak pernah dituntut untuk mencoba strategi dan cara (alternatif) sendiri dalam memecahkan masalah.

Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pembelajaran matematika secara biasa adalah suatu kegiatan belajar mengajar yang selama ini kebanyakan dilakukan oleh guru dimana guru mengajar secara klasikal yang di dalamnya aktivitas guru mendominasi kelas dengan metode ekspositori, dan siswa hanya menerima saja apa-apa yang disampaikan oleh guru, begitupun aktivitas siswa untuk menyampaikan pendapat sangat kurang, sehingga siswa menjadi pasif dalam belajar, dan belajar siswa kurang bermakna karena lebih banyak hapalan.

Oleh sebab itulah kiranya diharapkan sangat kepada guru untuk selalu mengikuti berbagai seminar, lokakarya, semiloka, dan diklat, yang dilaksanakan oleh institusi pendidikan, terutama berkenaan dengan proses pengajaran dan pembelajaran. Sehingga kita memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan, dan merubah cara pengajaran dan pembelajaran kita selama ini. Semoga.***

sumber : http://xpresiriau.com/teroka/artikel-tulisan-pendidikan/pembelajaran-konvensional/

Memanfaatan Museum Sebagai Sumber Pembelajaran

"Apabila suatu bangsa adalah sebuah keluarga yang hidup dengan dan dalam rumah kebudayaannya, maka Museum dapatlah dipahami sebagai album keluarga itu. Di dalam album itulah foto-foto seluruh keluarga tersimpan dan disusun dari setiap masa dan generasi. Foto-foto itu ditatap untuk tidak sekedar menjenguk dan menziarahi sebuah masa lalu, sebab waktu bukan hanya terdiri dari ruang dimensi kemarin, hari ini dan besok pagi. Foto-foto itu adalah waktu yang menjadi tempat untuk menatap dan memaknai seluruhnya, bukan hanya peristiwa, akan tetapi juga pemaknaan di balik peristiwa-peristiwa itu. Pemaknaan tentang seluruh identitas, di dalam dan di luar kota. Foto-foto itu akhirnya bukan lagi dipahami sebagai sebuah benda" (HU Pikiran Rakyat, 22 Februari 2001).
Uraian tersebut menunjukkan, museum tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang mengumpulkan dan memamerkan benda-benda yang berkaitan dengan sejarah perkembangan kehidupan manusia dan lingkungan, tetapi merupakan suatu lembaga yang mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan dan pengembangan nilai budaya bangsa guna memperkuat kepribadian dan jati diri bangsa, mempertebal keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan, serta meningkatkan rasa harga diri dan kebanggaan nasional.
Dalam kenyataannya, saat ini masih banyak masyarakat, termasuk kalangan pendidikan, yang memandang Museum hanya berfungsi sebagai tempat menyimpan dan memelihara benda-benda peninggalan sejarah serta menjadi monumen penghias kota. Akibatnya, banyak masyarakat yang enggan untuk meluangkan waktu berkunjung ke Museum dengan alasan kuno dan tidak prestis, padahal jika semua kalangan masyarakat sudi meluangkan waktu untuk datang untuk menikmati dan mencoba memahami makna yang terkandung dalam setiap benda yang dipamerkan museum, maka akan terjadi suatu transfomasi nilai warisan budaya bangsa dari generasi terdahulu kepada generasi sekarang.
Bagi dunia pendidikan, keberadaan museum merupakan suatu yang tidak dapat terpisahkan, karena keberadaannya mampu menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dalam proses pembelajaran terutama berkaitan dengan sejarah perkembangan manusia, budaya dan lingkungannya.
Museum sebagai Sumber PembelajaranSebagai lembaga yang menyimpan, memelihara serta memamerkan hasil karya, cipta dan karsa manusia sepanjang zaman, museum merupakan tempat yang tepat sebagai Sumber Pembelajaran bagi kalangan pendidikan, karena melalui benda yang dipamerkannya pengunjung dapat belajar tentang berbagai hal berkenaan dengan nilai, perhatian serta peri kehidupan manusia.
Kegiatan observasi yang dilakukan oleh siswa di Museum merupakan batu loncatan bagi munculnya suatu gagasan dan ide baru karena pada kegiatan ini siswa dirangsang untuk menggunakan kemampuannya dalam berfikir kritis secara optimal. Kemampuan berfikir siswa tersebut menurut Takai and Connor (1998), meliputi :a. Comparing and Contrasting (kemampuan mengenal persamaan dan perbedaan pada objek yang diamati) b. Identifying and Classifying (kemampuan mengidentifikasi dan mengelompokkan objek yang diamati pada kelompok seharusnya).c. Describing (kemampuan menyampaikan deskripsi secara lisan dan tulisan berkenaan dengan objek yang diamati).d. Predicting (kemampuan untuk memprakirakan apa yang terjadi berkenaan dengan objek yang diamati).e. Summarizing (kemampuan membuat kesimpulan dari informasi yang diperoleh di Museum dalam sebuah laporan secara singkat dan padat).
Kemampuan berpikir tersebut tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa adanya bimbingan dan pembinaan yang memadai dari gurunya. Upaya yang dapat dilakukan oleh guru dalam menumbuhkan kemampuan berfikir kritis siswa melalui kegiatan kunjungan ke Museum, diantaranya : a. Dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas untuk materi tertentu, guru perlu sering mengajak, menugaskan atau menyarankan siswa berkunjung ke Museum guna membuktikan uraian dalam buku teks dengan melihat bukti nyata yang terdapat di museum. Kegiatan ini idealnya dilakukan dengan melibatkan siswa dalam jumlah yang tidak terlalu besar untuk mempermudah guru dan pemandu museum membimbing siswa saat mengamati koleksi museum.b. Memberikan pembekalan terlebih dahulu kepada siswa sebelum melakukan kunjungan ke museu, terutama berkaitan dengan materi yang akan diamati. Kegiatan ini dilakukan agar pada diri siswa tumbuh rasa ingin mengetahui dan membuktikan apa yang diinformasikan oleh gurunya atau pemandu museum.c. Menyediakan alat bantu pendukung pembelajaran bagi siswa, berupa lembar pannduan atau LKS yang materinya disusun sesingkat dan sepadat mungkin serta mampu menumbuhkan daya kritis siswa terhadap objek yang diamati. d. Selama kunjungan guru dan atau pemandu museum berada dekat siswa untuk memberikan bimbingan dan melakukan diskusi kecil dengan siswa berkenaan dengan objek yang diamati.e. Setelah kegiatan kunjungan, siswa diminta untuk membuat laporan berupa kesimpulan yang diperoleh dari hasil kegiatan kunjungan ke museum, kemudian hasil tersebut didiskusikan dalam kelas.f. Pada bagian akhir kegiatan, guru perlu melakukan evaluasi terhadap program kegiatan kunjungan tersebut sebagai tolok ukur keberhasilan kegiatan kunjungan tersebut.
Selain upaya yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan kunjungan ke Museum, pihak pengelola (kurator) museum juga perlu melakukan berbagai upaya agar pengunjung, terutama kalangan pendidikan dapat memperoleh hasil yang maksimal dalam kegiatan kunjungannya. Upaya dapat dilakukan oleh pengelola museum dalam menjadikan museumnya sebagai sumber bagi kegiatan pembelajaran, diantaranya : a. Menyediakan panel informasi singkat berkenaan dengan pembagian ruang dan jenis koleksi yang dipamerkannya di pintu masuk museum, sehingga pengunjung dapat memperoleh gambaran isi museum secara lengkap begitu masuk pintu museum, sehingga walau pengunjung hanya masuk ke salah satu ruangan, dia tidak akan kehilangan "cerita" yang disajikan museum.b. Menyediakan panel-panel informasi yang disajikan secara lengkap dan menarik sebagai pelengkap benda koleksi pameran dan diorama.c. Menyediakan berbagai fasilitas penunjang kegiatan pendidikan, seperti leaflet, brosur, buku panduan, film, mikro film, slide dan lembar kerja siswa (LKS), sehingga pengunjung dengan mudah mempelajari objek yang dipamerkan museum. d. Khusus berkenaan dengan LKS, perlu dirancang LKS museum yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing tingkatan usia siswa serta mampu membangkitkan daya kritis siswa sesuai dengan tingkatannya. e. Museum perlu menyelenggarakan berbagai kegiatan permainan museum yang menarik dan mampu meningkatkan pemahaman siswa akan objek yang dipamerkan.
Perlunya kerjasama antara sekolah dengan Pengelola MuseumDiatas sudah diuraikan bahwa pemanfaatan museum secara optimal oleh siswa dapat dicapai jika sebelum melakukan kegiatan kunjungan ke museum diberikan pengenalan terlebih dahulu berkenaan dengan materi atau objek yang dipamerkan. Melalui kegiatan eksplorasi pra kunjungan diharapkan siswa akan mampu menangkap berbagai informasi penting berkenaan dengan objek yang dipamerkan sesuai dengan apa diharapkan. Agar guru mampu melakukan bimbingan dalam kegiatan kunjungan ke museum, maka guru perlu menjalin kerjasama dengan pengelola museum guna memperoleh informasi lengkap tentang museum dan koleksi yang dipamerkannya.
Sebaliknya pihak pengelola (kurator) museum dalam menyusun berbagai program pendidikan di museum serta sarana penunjangnya, perlu melakukan kerjasama dengan kalangan pendidikan agar program pendidikan di museum dan sarana penunjangnya, seperti LKS, dapat sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan kurikulum sekolah. Selain itu, antara museum satu dengan yang lainnya yang berada dalam satu kota perlu melakukan kerjasama dalam membuat buku informasi museum bersama yang nantinya buku tersebut dapat dibagikan kepada kalangan pendidikan, terutama sekolah, sehingga ketika akan melakukan kegiatan kunjungan dengan mudah guru menentukan museum mana yang akan dikunjungi sesuai dengan tuntutan kurikulum pada saat itu.
Akhirnya melalui pemanfaatan Museum sebagai sumber pembelajaran diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan kita dan keberadaan museum tidak hanya menjadi penghias atau monumen kota, semoga....


sumber : kompas

5.30.2009

Sistem Pembelajaran Moving Kelas

Pada tahun pelajaran 2008-2009 SMA Negeri 1 Purwareja Klampok mencoba dengan segala kekurangan dan kelebihannya menerapkan proses belajar mengajar menggunakan Kelas Berpindah (moving Kelas) dalam rangka menunjang terlaksananya sistem Pembelajaran yang tersurat dalam Sekolah Kategori Mandiri

Pelaksanaan Pembelajaran dalam SKM berdasarkan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah menetapkan kebijakan tentang pengkategorian sekolah berdasarkan tingkat keterlaksanaan standar nasional pendidikan ke dalam kategori standar, mandiri dan bertaraf internasional. Pasal Ayat 2 dan Ayat 3 Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan bahwa dengan diberlakukannya Standar Nasional Pendidikan, maka Pemerintah memiliki kepentingan untuk memetakan sekolah menjadi sekolah yang sudah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan sekolah yang belum memenuhi Standar Nasional Pendidikan.

Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah mengkategorikan sekolah yang telah memenuhi atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan ke dalam kategori mandiri, dan sekolah yang belum memenuhi Standar Nasional Pendidikan ke dalam kategori standar. Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa kategori sekolah standard dan mandiri didasarkan pada terpenuhinya delapan Standar Nasional Pendidikan (standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan). Pemerintah telah menetapkan bahwa satuan pendidikan wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan tersebut paling lambat 7 (tujuh) tahun sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah tersebut. Hal tersebut berarti bahwa paling lambat pada tahun 2013 semua sekolah jalur pendidikan formal khususnya di SMA sudah memenuhi Standar Nasional Pendidikan yang berarti berada pada kategori sekolah mandiri.

SMA Negeri 1 Purwareja Klampok sebagai salah satu sekolah Rintisan SKM telah memiliki program-program yang berkaitan dengan persiapan dan pelaksanaannya. Pada tahun pelajaran 2008/2009 merupakan tahap awal rintisan SKM diharapkan dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran yang diisyaratkan dalam pelaksanaan SKM. Dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan, maka perlu disusun suatu acuan dasar dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, salah satunya adalah kegiatan pembelajaran dengan menggunakan sistem Kelas Berpindah (moving Kelas).

Pembelajaran sistem moving Kelas adalah kegiatan pembelajaran dengan peserta didik berpindah sesuai dengan pelajaran yang diikutinya. Dengan demikian diperlukan adanya kelas mata pelajaran atau kelas mata pelajaran serumpun untuk memudahkan dalam proses terlaksanaannya dan memudahkan dalam pengaturan kegiatan mengajar guru yang dilaksanakan secara Team Teaching. Pembelajaran dengan Team Teaching memudahkan guru dalam mengembangkan materi pembelajaran, kegiatan penilaian, kegiatan remedial dan pengayaan serta mengambil keputusan dalam menentukan tingkat pencapaian peserta didik terhadap mata pelajaran atau materi tertentu. Agar pelaksanaan dengan sistem Kelas berpindah dapat terlaksana dengan baik dan memberi peningkatan yang signifikan terhadap mutu pembelajaran dan lulusan peserta didik maka perlu disusun strategi pelaksanaan, perangkat peraturan dan administrasi yang dibutuhkan dalam kegiatan tersebut.

Tingkatkan Kualitas Tenaga Pendidik Usia Dini

TENGGARONG- Peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini, tentu tidak terlepas dari kualitas sumber daya tenaga pendidik. Berbagai terobosan perlu dilakukan, agar pendidikan dapat terlaksana dengan tepat sasarn. Melalui pelatihan dan evaluasi kegiatan belajar mengajar ini merupakan upaya yang harus terus digalakan dan kembangkan agar dapat mendorong percepatan kualitas peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini di tiap kecamatan.

Demikian dikatakan ketua GOPTKI Kukar DR HJ Futum Hubaib Aswin,S.Sos,MM disela – sela pembukaan pelatihan dan evaluasi kegiatan belajar mengajar bagi guru TK professional di Gedung secretariat GOPTKI Kukar, Rabu ( 11/2).
Futum juga mengatakan,guru taman kanak – kanak adalah pendidik yang mempunyai tugas dan tanggung jawab yang cukup berat, karena mendidik anak usia dini yang masih butuh perhatian dan kasih sayang penuh.
Pendidikan anak usia dini diarahkan untuk membentuk watak dan karakter anak – anak didik, agar menjadi manusia Indonesia yang taqwa kepada tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur serta berorientasi pada kecerdasan intelaktual, emosional dan spiritual. Hal ini sangat penting, karena kecerdasan anak adalah penentu kualitas bangsa dimasa yang akan datang, tambahnya.
Usia dini juga merupakan masa keemasan karena otak anak berkembang secara pesat. Oleh karena itu, peran guru menjadi sangat penting untuk dapat menerapkan pendidikan yang bermutu. Untuk itu, ia berharap kepada para peserta dapat mengikuti kegiatan ini dengan baik sekaligus dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam rangka meningkatkan profesionalisme dan membangun organisasi kearah yang lebih baik lagi. ( HMP 04 ).

sumber : http://humas.kutaikartanegarakab.go.id/index.php/read/tingkatkan-kualitas-tenaga-pendidik-usia-dini/

Tenaga Pendidik Akan Menjadi Jabatan Promosi

Jakarta, Kompas - Jabatan sebagai tenaga pendidik di lembaga-lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kepolisian Negara RI, serta Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, akan menjadi jabatan promosi, sehingga akan dibuat sistem yang mengatur bahwa mereka yang akan ditugaskan sebagai pendidik adalah mereka yang berprestasi. Kemudian, setelah berdinas sebagai pendidik selama dua hingga tiga tahun, yang bersangkutan akan dipromosikan ke jabatan strategis.

Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto mengungkapkan hal itu dalam diskusi terbatas di kantor Redaksi Kompas, Selasa (12/7). Sutanto hadir didampingi Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Aryanto Boedihardjo.

Tenaga pendidik Polri seharusnya tidak menjadi jabatan buangan, karena bermasalah di tempat lain, lalu ditempatkan sebagai tenaga pendidik. Ini yang kemudian membuat para tenaga pendidik tidak bersemangat bekerja atau bekerja asal-asalan, ujarnya.

Nantinya, lanjut Sutanto, tenaga pendidik akan menjadi jabatan promosi yang prestisius. Yang masuk ke sana adalah mereka yang berprestasi.

Setelah mengabdi selama dua hingga tiga tahun di lembaga pendidikan Polri, yang bersangkutan akan dipromosikan menjadi pemimpin strategis.

Kepala Polri menyatakan, salah satu prioritasnya adalah menciptakan rasa bangga di kalangan pendidik Polri. Lebih luas lagi adalah menciptakan rasa bangga sebagai polisi Indonesia. Ini yang juga penting, kata Sutanto.

Harta sindikat

Dalam kesempatan itu, ia banyak mengungkapkan ide-ide mengenai usaha menyejahterakan polisi, sistem imbalan dan hukuman (reward and punishment), dan upaya menyukseskan program-programnya, termasuk pemberantasan judi.

Untuk dana insentif polisi, ia mengungkapkan, sudah mengusulkan mekanisme dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan UU No 22/1997 tentang Narkotika. Di naskah revisi itu diajukan usulan agar sebagian dari harta sindikat narkoba yang disita negara dialokasikan untuk dana operasional polisi dan insentif bagi polisi yang bertugas. Saya mohon doa dan dukungannya agar revisi ini disetujui, tambahnya.

Soal program-programnya, salah satunya mengenai komitmen antijudi yang diduga sulit terealisasi, Sutanto mengaku yakin dapat terwujud karena ia tidak bekerja sendiri. Ditegaskannya bahwa di kalangan internal Polri, masih ada banyak dukungan dari polisi yang ingin tampil lebih baik di hadapan masyarakat.

Ia mengungkapkan, pemberantasan judi memang bukan perkara mudah. Namun, tidak ada alasan untuk tidak memulai pemberantasannya.

Tentunya kita harus berstrategi, jangan diam saja. Kalau diam ya pasti dilibas. Yakinlah bahwa sehebat apa pun, orang yang melanggar hukum juga merasa takut, tandas Sutanto. (ADP)

sumber : Kompas

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0507/13/metro/1893223.htm

Tenaga Pendidik: Guru Bukan Lagi Profesi Kelas Dua

Suasana kantin di sayap timur Kampus Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta ingar-bingar. Ratusan mahasiswa hilir mudik di tengah dentuman musik rock yang memenuhi pelataran terbuka, yang menjadi tempat favorit mahasiswa di waktu senggang.
Suasana itu tidak berbeda dengan koridor utama Atma Jaya. Berbagai aliran musik anak muda berdentum-dentum. Irama musik itu datang dari deretan ruangan yang dipergunakan sebagai sekretariat unit kegiatan mahasiswa. Baju, sepatu, dan berbagai macam aksesori tren terbaru dipertontonkan di lorong kampus yang tidak ubahnya sebuah catwalk.
Di tengah kampus yang sedang berubah itu, Silla (19) mahasiswa angkatan 2004 memilih menyepi di lantai tiga yang lebih kontemplatif. Ia asyik membaca sebuah buku karya Torey Hayden, psikolog yang bekerja untuk anak-anak berkebutuhan khusus, yang ia pinjam dari perpustakaan. Dandanannya sederhana: baju kaus gombrong, celana panjang, dan sebuah tas kain besar. Wajahnya bersih tanpa riasan.
Pricilla Anindita memang bagian dari kelompok minoritas di Atma Jaya. Jika sebagian besar mahasiswa di sana memimpikan pekerja profesional di industri bisnis, Silla begitu panggilan akrabnya kuliah di Atma Jaya untuk menjadi guru SD.
”Saya sangat ingin menjadi guru dan berhubungan dengan anak-anak. Sejak dulu saya sering mengajari adik saya. Rasanya senang sekali,” tutur Silla yang lebih sering mendapatkan nilai A untuk tiap mata kuliah yang diambilnya.
Sejak SMA Silla bercita-cita menjadi guru. Ia sempat iseng mengikuti jalur seleksi tanpa tes untuk Jurusan Akuntansi di Universitas Indonesia, semata-mata atas saran keluarganya. Ia justru bersyukur tidak masuk. Pintu masuk untuk menjadi guru SD terbuka setelah ia diterima di Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Atma Jaya, satu-satunya program PGSD setingkat S-1 di Indonesia yang merekrut calon mahasiswa dari lulusan SLTA. Untuk mencukupi biaya kuliahnya, Silla bekerja paruh waktu di sebuah klinik di Bogor.
Pengecualian
Menjadi guru juga merupakan cita-cita Asep Gunawan (19), mahasiswa Program Studi Kependidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Ibunya guru SD yang telah mengabdi selama lebih dari 20 tahun. Penghasilannya kecil. Cerita itu justru mendorong Opik, panggilan akrab Asep Gunawan, menjadi guru. Lulus SMA ia mendaftar ke Jurusan Bahasa Inggris, Jerman, dan Kimia, UPI. Ketiganya program kependidikan.
”Begitu mendengar saya masuk UPI, langsung pandangan teman-teman saya dulu gimana gitu, tetapi saya tidak minder. Saya justru ingin mengubah citra seorang guru,” tutur Opik.
Silla dan Opik boleh dibilang pengecualian dari kawan-kawan segenerasinya. Gaji guru yang rendah, tertindas oleh birokrasi dan sulit berkembang, serta merosotnya status sosial guru di tengah masyarakat membuat profesi guru menjadi pilihan terakhir. Ketika harga guru begitu rendahnya, lembaga-lembaga pendidikan guru kesulitan mencari masukan calon mahasiswa yang pintar. Sebagaimana profesi guru, mahasiswa program studi kependidikan juga dianggap warga kelas dua.
Citra guru yang buruk, seperti diakui Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Paulus Suparno, berpengaruh langsung terhadap kualitas calon mahasiswa program studi kependidikan.
Ketika IKIP Sanata Dharma berubah menjadi universitas, lulusan SMA terbaik justru memilih program-program studi nonkeguruan yang dibuka kemudian. Nilai calon mahasiswa Jurusan Farmasi Sanata Dharma, misalnya, rata-rata mencapai 8,5. Keadaan sebaliknya untuk program studi kependidikan. Sudah minatnya sedikit, hasil tes akademiknya rendah. ”Kalau mau jujur, mereka sebenarnya tak boleh jadi guru,” kata Paulus.
Mulai dilirik
Sejumlah program studi kependidikan yang favorit memang masih diminati. Persoalannya, ketika penghargaan guru kurang, mereka yang kuliah di program studi kependidikan favorit juga enggan menjadi guru. Program Studi Kependidikan Bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma, umpamanya, sangat favorit tetapi hanya sedikit yang berminat menjadi guru. Bahkan di Universitas Negeri Jakarta pernah dalam satu angkatan hanya satu dari 30 orang yang akhirnya menjadi guru.
Ketika penghargaan guru mulai diperhatikan, minat dan gengsi menjadi guru pun mulai berubah. Di beberapa daerah, seperti DKI Jakarta, pemerintah daerah memberikan insentif tambahan yang cukup signifikan kepada para guru pegawai negeri sipil (PNS). Dengan tunjangan dari pemerintah daerah sekitar Rp 2 juta per bulan, penghasilan seorang guru PNS minimal Rp 3 juta.
Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen juga memberikan sinyal bahwa kesejahteraan guru akan ditingkatkan. Guru yang memenuhi kualifikasi akademik dan mengantongi sertifikat sebagai pendidik dijanjikan mendapatkan tunjangan sebesar satu kali gaji pokok. Belum lagi tambahan tunjangan fungsional sebesar Rp 500.000 per bulan.
Peningkatan kesejahteraan guru itu membuat Mustofa (23) yang tak pernah punya keinginan jadi guru harus berpikir ulang. Mahasiswa kimia UNJ itu mulai melirik profesi guru. Apalagi penghasilan guru PNS di Jakarta tidak gampang terkejar oleh karier bekerja di perusahaan swasta dengan penghasilan awal Rp 1,2 juta per bulan.
”Dulu enggak banget kalau jadi guru, sekarang fifty-fifty,” kata Mustofa, lulusan SMA Negeri 30 di Jakarta Timur itu.
Gaji guru negeri di Jakarta memang menggiurkan. Namun, semua itu belum ada artinya untuk menyelesaikan gunung es persoalan guru di Tanah Air. Nasib guru honorer swasta masih di luar agenda pemerintah. Tunjangan profesional yang dikaitkan dengan sertifikasi guru tetap menjadi mimpi bagi guru SD yang sebagian besar belum berkualifikasi akademik S-1. Apalagi persoalan guru tidak semata- mata masalah kesejahteraan....

sumber : http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=2370

Tenaga Pendidik Jangan Takut Menjadi Guru


Undang-Undang Guru dan Dosen mengajak kita percaya bahwa program kualifikasi, sertifikasi, dan pemberian beberapa tunjangan untuk guru akan meningkatkan kualitas guru dan secara otomatis mendongkrak mutu pendidikan. Tentu kita tidak percaya sepenuhnya. Mengapa? Karena ada satu hal yang sering kali terluput dari diskursus tentang rendahnya kualitas guru di Indonesia, yaitu soal birokratisasi profesi guru.

Birokratisasi profesi guru di zaman Orde Baru telah menghasilkan mayoritas guru bermental pegawai. Orientasi jabatan sangat kental melekat dalam diri para guru. Jabatan guru utama�sebagaimana layaknya guru besar di perguruan tinggi�tidak lagi dilihat sebagai tujuan puncak karier yang harus diraih seorang guru, melainkan lebih pada jabatan kepala sekolah atau jabatan-jabatan birokrasi lainnya di dinas-dinas pendidikan maupun di departemen pendidikan. Semangat profesionalismenya luntur seiring terjadinya disorientasi jabatan ini.

Birokratisasi juga menciptakan hubungan kerja “atasan-bawahan”, yang lambat laun menghilangkan kesejatian profesi guru yang seharusnya merdeka untuk menentukan berbagai aktivitas profesinya tanpa harus terbelenggu oleh juklak dan juknis (petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis) yang selama ini menjadi bagian dari budaya para birokrat. Guru menjadi tidak kreatif, kaku, hanya berfungsi sebagai operator atau tukang dan takut melakukan berbagai pembaruan.

Rasa takut itu pada akhirnya semakin memperkokoh kekuasaan birokrasi dengan menjadikan guru sebagai bagian dari pegawai-pegawai bawahan yang harus tunduk patuh pada perintah “atasan”. Guru yang berani mengkritik, apalagi memprotes tindakan “atasan” yang tidak benar, dengan mudah diperlakukan sewenang-wenang seperti diintimidasi, dimutasi, diturunkan pangkatnya atau bahkan dipecat dari pekerjaannya. Kasus mutasi Waldonah di Temanggung, kasus mutasi 10 guru di Kota Tangerang, kasus pemecatan Nurlela dan mutasi Isneti di Jakarta, serta beberapa kasus penindasan terhadap guru di berbagai daerah menunjukkan begitu kuatnya proses birokratisasi profesi guru sampai saat ini.

Proses yang sama terjadi pula sampai ke dalam kelas. Dalam proses pembelajaran, guru lebih menempatkan diri sebagai agen- agen kekuasaan. Ia memerankan dirinya sebagai pentransfer nilai-nilai ideologi kekuasaan yang tidak mencerahkan kepada anak-anak didiknya daripada membangun suasana pembelajaran yang demokratis dan terbuka. Anak didik dijadikan “bawahan-bawahan” baru yang harus tunduk dan patuh kepada guru sesuai juklak dan juknis atau atas nama kurikulum.

Kondisi ini semakin diperparah ketika proses birokratisasi ikut memasuki jejaring organisasi guru. Sebagian pengurusnya dikuasai oleh kalangan birokrasi. Akibatnya, organisasi yang diharapkan mampu membangun komunitas guru yang intelektual-transformatif dan melindungi gerakan pembaruan intelektual guru, justru jadi bagian dari rezim birokrasi yang “mengebiri” kemerdekaan profesi guru.

Penunggalan organisasi guru menjadi bagian dari agenda penguatan kekuasaan birokrasi yang tak terlepas dari kepentingan politik kekuasaan yang lebih besar lagi. Bisa dibayangkan, guru menjadi tidak cerdas dan tumpul pemikirannya justru oleh ulah organisasinya sendiri. Sungguh ironis!

Debirokratisasi

Program kualifikasi, sertifikasi, dan pemberian tunjangan kesejahteraan kepada guru jelas bukan jawaban satu-satunya untuk membangun kualitas guru. Tanpa disertai gerakan debirokratisasi profesi guru, sulit rasanya kesejatian kualitas guru akan terbangun.

Oleh karena itu, profesionalisme guru harus dibangun bersamaan dengan dorongan untuk membangun keberanian guru melibatkan diri dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan, bebas menyampaikan berbagai pandangan profesinya, mengkritik, bebas berekspresi dan bebas berserikat sebagai wujud kemandirian profesinya. Bagaimana semua itu dapat diwujudkan?

Beberapa pasal dalam UU Guru dan Dosen ternyata menjadikan debirokratisasi profesi guru sebagai bagian penting dari upaya peningkatan kualitas guru. Pasal 14 Ayat 1 Butir (i) menyebutkan: Dalam menjalankan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.

Klausul ini mempertegas hak guru untuk terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan, mulai dari tingkat sekolah sampai penentuan kebijakan pendidikan di tingkat provinsi maupun pemerintahan pusat. Guru tidak boleh lagi ditempatkan sebagai bawahan yang hanya menerima berbagai kebijakan birokrasi, tetapi harus duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang partisipatif.

Pada pasal yang sama Butir (h) disebutkan: Guru berhak memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi guru. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 41 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa: Guru dapat membentuk organisasi profesi yang bersifat independen, juga Pasal 1 Butir (13) yang menyebutkan: Organisasi profesi guru adalah perkumpulan berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.

Ketiga pasal ini mempertegas kemandirian guru untuk bebas berorganisasi dan melepaskan diri dari kepentingan kekuasaan birokrasi. Pasal 1 Butir (13) mempertegas bahwa siapa pun yang bukan guru tidak dibenarkan mendirikan dan mengurus organisasi guru, seperti yang selama ini banyak dilakukan oleh birokrasi atau bahkan para petualang politik.

UU Guru dan Dosen juga memberikan perlindungan hukum kepada guru dari tindakan sewenang-wenang birokrasi, baik dalam bentuk ancaman maupun intimidasi atas kebebasan guru untuk menyampaikan pandangan profesinya, kebebasan berserikat/berorganisasi, keterlibatan dalam penentuan kebijakan pendidikan dan pembelaan hak-hak guru.

Pasal 39 Ayat 3 menegaskan bahwa guru mendapat perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi atau pihak lain. Ayat 4 pada pasal yang sama secara tegas memberi perlindungan profesi kepada guru terhadap pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi dan terhadap pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.

UU Guru dan Dosen cukup mendorong proses debirokratisasi profesi guru. Ruang kebebasan guru tanpa harus dibayangi ketakutan pada kekuasaan birokrasi kini mulai terbuka lebar. Birokrasi kekuasaan harus menerima perubahan paradigma yang ditawarkan undang-undang ini. Guru harus berani menempati ruang tersebut. Karena itu, jangan pernah takut lagi untuk menjadi guru yang kreatif!

sumber : http://himpsijaya.org/2006/03/28/tenaga-pendidik-jangan-takut-menjadi-guru/

Mengembangkan Media Visual untuk Tenaga Pendidik Polisi di Papua

IOM telah bekerjasama dengan Polri sejak tahun 2003. Untuk program di Papua, salah satunya IOM turut mendukung terselenggaranya pelatihan tentang Perpolisian Masyarakat (Polmas) dan Hak Asazi Manusia kepada sekitar 1.500 polisi di lingkungan Polda Papua.

Berdasar informasi umum dari Lemdiklat, IOM dan Gadik, materi pembelajaran Polmas dan HAM, masih memerlukan perbaikan guna mempermudah pemahaman dan memantapkan implementasi Polmas. Salah satu upaya dalam mempermudah pemahaman tentang Polmas adalah dengan mengembangkan berbagai media seperti power point, audio visual dan berbagai media lainnya yang memang disiapkan secara khusus untuk tiap bagian dari kurikulum pembelajaran.

Untuk itu, IOM yang telah bekerjasama dengan Polri, menggandeng Konsultan Remdec Jakarta dan Kawanusa Bali dalam mengembangkan media untuk melengkapi materi pelatihan pelatihan tentang Polmas dan HAM. Di dalam mengembangkan media, telah dilakukan serangkaian diskusi dan workshop sebanyak 6 kali yakni 1) Persiapan tim kerja; 2) Diskusi dengan IOM dan Lemdiklat; 3) Diskusi dengan SPN di Jayapura; 4) Produksi Media ; 5) Draft Produksi media dan presentasiawal ; 6) Finalisasi Produksi Media.

Kegiatan persiapan tim kerja dan diskusi dengan IOM dan Lemdiklat telah dilakukan di Jakarta pada tanggal 8 Januari 2008. Dari kedua pertemuan tersebut didapat gambaran secara umum tentang materi pendidikan Polmas dan HAM dan kemungkinan pengembangan media yang sesuai dengan kondisi Papua. Hasil diskusi dengan Lemdiklat juga mendapatkan masukan lainnya, yakni tentang materi yang dibuat hendaknya betul betul berbasis pada kebutuhan dan kondisi Papua, serta diupayakan supaya media yang dihasilkan betul betul dipahami, dikuasai dan digunakan oleh para tenaga pendidik atau pelatih di SPN maupun Polres.

Untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut, maka kegiatan diskusi dengan SPN dalam merancang material produksi media, sedikit mengalami perubahan. Kegiatan diskusi SPN dalam perencanaan sebelumnya hanya untuk medapatkan masukan dalam merancang media kemudian tim kerja media akan melanjutkan produksi media. Berdasarkan masukan dari Lemdiklat, maka kegiatan diskusi dan produksi media berubah menjadi workshop penyiapan media Polmas dan HAM. Di dalam workshop tersebut peserta yang terdiri dari Gadik akan berdiskusi, merancang media dan memproduksi media serta berlatih menggunakan media yang sudah dihasilkan dengan didampingi oleh tim kerja media. Dengan perubahan bentuk kegiatan ini, diharapkan media yang dirancang sendiri oleh para tenaga pendidik akan lebih dipahami dan dimanfaatkan untuk proses-proses pendidikan.

Workshop di Papua diikuti oleh 10 tenaga pendidik dari Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Jayapura pada tanggal 18-24 Januari 2009. Tim konsultan dari Kawanusa-Remdec yang mengelola workshop adalah Yoga Atmaja, Roem Topatimasang, M Abduh Aziz, dibantu 2 orang co fasilitator yakni Asok Nagara dan Bob Dharmadi. Selama 8 hari dari pagi hingga malam hari, peserta akhirnya mampu menyelesaikan rancangan kurikulum pengembangan polmas untuk para brigadir beserta 5 buah media yang terdiri dari: Citra polisi (power point), Cara berkomunikasi (video membangun kontak awal, foto esay membangun kontak awal), Pemecahan masalah (video kasus nafri), Pelaporan (foto esay laporan, power point laporan keadaan wilayah)

Media yang dihasilkan dari workshop masih memerlukan penyempurnaan, oleh sebab itu maka tim media Remdec-Kawanusa akan memperbaiki, tanpa mengubah isi dari media yang telah dihasilkan oleh para tenaga pendidik.
Belum semua materi pelajaran dibuat medianya, karena keterbatasan waktu. Oleh sebab itu tenaga pendidik masih memerlukan dukungan teknis/ pendampingan lanjutan dalam upaya menyelesaikan media dan menambah ketrampilan membuat dan menggunakan media.

sumber : http://www.kawanusa.co.id/news-detail.php?id=21

Gubernur Jatim Ingin Standar UN Naik

SIDOARJO, KOMPAS.com — Gubernur Jawa Timur Soekarwo menginginkan standar nilai ujian nasional naik. Hal itu dinilai lebih menguntungkan pelajar.

Karwo mengatakan, dengan standar nilai terendah 5,5 belum sesuai dengan ukuran umum dalam dunia akademik. Lazimnya, standar terendah antara 6,0 hingga 7,0. Saya yakin bisa dinaikkan lagi, ujarnya di Sidoarjo, Rabu (22/4).

Hal itu didasarkan pada hasil UN saat ini. Sekarang, semakin banyak pelajar mendapat nilai di atas 7,0. Hal ini menunjukkan pelajar sebenarnya berkualitas. Tinggal dipacu saja, tuturnya.

Sementara Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Priyo Suprobo mengatakan, bagus bila standar UN minimal tujuh. Perguruan tinggi negeri (PTN) bisa menjadikan hasil UN untuk menyeleksi mahasiswa baru. Nilai tujuh dipakai untuk PMDK. Jadi, tidak jauh berbeda kalau UN segitu juga, ujarnya.

Namun, itu dengan syarat UN berjalan sesuai norma. Kecurangan selama penyelenggaraan tidak ada sehingga ada kredibilitas hasilnya.

sumber : Kompas - Kris R Mada



Ujian Nasional Disisipi Kampanye Negatif

AKARTA--MI: Sebuah pertanyaan menyesatkan dan cenderung sebagai kampanye negatif disisipkan dalam sebuah soal ujian akhir. Pernyataan tersebut mendisreditkan pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Soal ini syarat muatan politis dan tidak mendidik, ujar Wakil Ketua Komisi VIII DPR Said Abdullah di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Senin (4/5). Dalam soal tersebut jelas mendiskreditkan suatu era pemerintahan didalam suasana politik mengahadapi pilpres. Bunyi pertanyaan nomor 30 tersebut, Pada masa pemerintahan Ibu Megawati Soekarno Putri terjadi disintegrasi bangsa di

a. Aceh-Maluku, b. Aceh-Madura, c. Ambon-Medan, d. Kalimantan-Bali, e. Sulawesi-Medan

Menurut saya ini amoral karena mencekoki anak didik kita dengan soal yang absurd tanpa fakta, ungkap Said.

Untuk itu, harus diluruskan bahwa pascareformasi dari era Gus Dur, Megawati sampai saat ini di masa pemerintahan SBY tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi disintegrasi bangsa. Maka materi UAS tersebut mengada-ada dan menyesatkan anak didik kita, ungkapnya.

Pertanyaan itu merupakan bagian dari soal Ujian akhir Madrasah Aliyah Negeri I Sumenep kelas XII mata pelajaran Sejarah. Setelah dikonfirmasi, hal tersebut terjadi hampir di seluruh kawasan Madura.

Tidak hanya pertanyaan nomor 30, ungkap Said, pada pertanyaan nomor 31 juga berindikasi kampanye. Bunyi pertanyaan nomor 31 tersebut sebagai berikut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan presiden Republik Indonesia ke berapa. Ini jelas merupakan sebuah kampanye terselubung untuk mendoktrin pemilih pemula, sambung Ketua Komisi VIII DPR Hasrul Azwar.

Ia mengatakan, bahwa semua sepakat untuk tidak menjadikan anak didik sebagai kuda troya politik demi ambisi rezim penguasa mengahalalkan segala cara melalui rantai birokrasi pendidikan.

Oleh karenanya, Komisi VIII DPR akan memanggil Menteri Agama atas kejadian ini. Karena MAN termasuk dalam kewenangan Depag dan strukturnya masih langsung vertikal, dari pusat hingga tingkat sekolah. Saya minta kalau ingin melakukan pendidikan politik kepada pelajar yang normatif saja dan yang tidak menimbulkan perdebatan. Jangan menimbulkan khilafiah semacam ini, tukasnya. (*/OL-03)

sumber : Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/05/05/73059/3

Perguruan Tinggi Ikut Awasi UN 2009

JAKARTA, SENIN – Mulai tahun ini, tim pengawas Ujian Nasional (UN) akan ditambah dengan melibatkan perguruan tinggi dalam Pengawas Satuan Pendidikan. Mereka ditigaskan mengawasi pelaksanaan UN di SMA/ MA yang akan memantau, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan UN di wilayahnya kepada Menteri dan BSNP.

Hal itu dikatakan Koordinator Ujian Nasional, Djemari Mardapi, dalam konferensi pers di Gedung Depdiknas, Jl Jend Sudirman, Jakarta, Senin (12/1).

“Kalau tim pemantau independen itu kan memang sudah ada untuk di SMP/Mts/ SMP luar Biasa dan SD, sedangkan tim pengawas untuk perguruan tinggi ya tim dari perguruan tinggi ini,” kata Djemari.

Mardapi mengatakan dalam pelaksanaannya, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akan bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) untuk menempatkan mahasiswanya dalam penyelenggaraan UN. “BNSP akan menunjuk PTN berdasar rekomendasi Majelis Rektor PTN sebagai koordinator perguruan tinggi di provinsi tertentu,” katanya.

Tugas mereka, menurut Djemari Mardapi, selain menjaga keamanan dan kerahasiaan penggandaan dan pendistribusian naskah, juga melakukan pemindaian (scanning) lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) dengan menggunakan perangkat lunak yang ditetapkan BSNP.

“Mereka ditempatkan di tiap satuan pendidikan minimal 1 orang. Kalau ada 10 kelas minimal ada 1 orang pengawas dari tim perguruan tinggi, tetapi tak boleh masuk ke dalam ruangan,” kata Djemari Mardapi.

Dikatakan Ketua Badan Standar Nasional pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo, pengawas dari perguruan tinggi maupun tim pengawas independen atau siapapun termasuk pejabat yang meninjau tak diperbolehkan masuk ke dalam ruangan tes. “Ini demi menjaga konsentrasi siswa, karena waktu mengerjakan siswa dapat berkurang bila perhatian teralihkan,” katanya.

Pengawas dari perguruan tinggi dan tim independen boleh masuk bila ditengarai ada tindak kecurangan yang terjadi. “Pengawas dalam ruangan untuk SD, SMP dan SMU tetap 2 orang guru yang telah ditentukan dari sistem silang dari sekolah yang berbeda,” jelasnya.

sumber : kompas - maya

Jelang Ujian Nasional 2009, semua persiapan dimatangkan

Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Padang optimis peringkat rata-rata kelulusan ujian nasional (UN) 2009 di Kota Padang akan naik. Walaupun untuk tahun mendatang, standar rata-rata nilai tersebut naik dari 5,25 menjadi 5,50. Rasa optimis tersebut muncul karena sejak Agustus lalu, sejumlah SMP dan SMA di Kota Padang sudah melaksanakan tambahan belajar khususnya kepada siswa kelas tiga.

“Disdik sudah menginstruksikan kepada sekolah-sekolah untuk mempersiapkan UN sejak awal. Terutama terhadap enam mata pelajaran yang akan diujikan. Bahkan untuk sekolah yang berada di pinggiran kota, kami bantu dengan persiapan tambahan buku serta pendukung lainnya, sehingga mereka juga dapat mempersiapkan diri secara optimal,” ujar Kepala Disdik Kota Padang, M Nur Amin.

Meskipun demikian, Nur Amin berharap agar setiap orangtua juga harus memberikan motivasi dan pengawasan kepada anaknya.

“Misal, memberi pengertian kepada anaknya untuk tidak bermain sepulang sekolah. Dan yang perlu diingat pula, kenaikan standar rata-rata nilai UN ini menjadi tantangan bagi semua pihak, baik guru, siswa maupun orangtua,” ulasnya.

Berdasarkan jadwal yang telah disepakati BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), Depdiknas dan Depag, maka diputuskan jadwal UN 2009 sebagai berikut. Untuk SMA/MA, 20-24 April 2009, sedangkan jadwal susulannya 27 April-1 Mei 2009. Untuk SMP/MTsN, 27- 30 April 2009 dengan jadwal susulan 4-7 Mei 2009.

Lanjutnya, untuk jadwal pengumuman hasil untuk siswa SMA sederajat, minggu kedua Juni. Untuk SMP dan SD, masing-masing minggu ketiga Juni.

“Sebelum pelaksanaan UN, rencananya Dinas Pendidikan Provinsi Sumbar melaksanakan Pra UN yang diperkirakan berlangsung Februari mendatang. Meskipun demikian jadwal pastinya masih dalam tahap pembicaraan dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota,” ujarnya.

Untuk standar lulus sendiri, menurut Nur Amin, telah ditetapkan secara nasional, yakni 5,50. Artinya boleh ada nilai 4 pada dua mata pelajaran, namun empat nilai lainnya harus di atas 5,50. Sedangkan bagi siswa SD standar nilai lulus ditetapkan Dinas Pendidikan masing-masing Kabupaten/Kota.

Persyaratan mutlak yang harus dipenuhi siswa untuk mengikuti UN, setiap siswa mesti lulus setiap mata pelajaran yang dibuktikan dengan nilai rapor dari kelas satu dan tiga, Sedangkan nilai mata pelajaran yang diujikan dalam ujian sekolah, agama, akhlak, PPKN, olahraga harus baik.

sumber : Padang Ekspres/ (TIM PADEK)

Evaluasi Program Pengajaran

Program pengajaran merupakan suatu rencana pengajaran sebagai panduan bagi guru atau pengajar dalam melaksnakan pengajaran. Agar pengajaran bisa berjalan dengan efektif dan efisien, maka perlu kiranya dibuat suatu program pengajaran. Program pengajaran yang dibuat oleh guru tidak selamanya bisa efektif dan dapat dilaksanakan dengan baik, oleh karena itulah agar program pengajaran yang telah dibuat yang memiliki kelemahan tidak terjadi lagi pada program pengajaran berikutnya, maka perlu diadakan evaluasi program pengajaran.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah: Apakah yang dimaksud dengan evaluasi program? mengapa evaluasi program perlu dilaksanakan? Apakah yang menjadi objek atau sasaran dari evaluasi? dan Bagaimanakah cara melaksanakan evaluasi program?

Menurut Arikunto (1999: 290) "Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat keberhasilan program". Ada beberapa pengertian tentang program itu sendiri, diantaranya program adalah rencana dan kegiatan yang direncanakan dengan seksama. Jadi dengan demikian melakukan evaluasi program adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan.

Yang menjadi titik awal dari kegiatan evaluasi program adalah keingintahuan penyusun program untuk melihat apakah tujuan program sudah tercapai atau belum. Jika sudah tercapai bagaimana kualitas pencapaian kegiatan tersebut, jika belum tercapai bagaimanakah dari rencana kegiatan yang telah dibuat yang belum tercapai, apa sebab bagian rencana kegiatan tersebut belum tercapai, adakah factor lain yang mempengaruhi ketidakberhasilan program tersebut.

Untuk menentukan seberapa jauh target program sudah tercapai, yang menjadikan tolak ukur adalah tujuan yang sudah dirumuskan dalam tahap perencanaan kegiatan sebelumnya.

Sasaran evaluasi adalah untuk mengetahui keberhasilan suatu program. Sebagimana yang dikemukakan oleh Ansyar (1989: 134) bahwa ".evaluasi mempunyai satu tujuan utama yatu untuk mengetahui berhasil tidaknya suatu program" Guru adalah orang yang paling penting statusnya dala kegiatan belajar mengajar, karena guru memegang tugas yang amat penting, yaitu mengatur dan mengemudikan kegiatan kelas. Untuk membuat proses belajar mengajar lebih efektif maka tugas guru adalah menciptakan suasana kelas yang kondusif untuk pembelajara. Untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif tersebut perlu dirancang program pengajaran. Berhasil tidaknya suatu program pengajaran, tentu tidak bisa diketahui begitu saja, tanpa adanya evaluasi program. Oleh karena itu evaluasi program perlu dilaksanakan oleh guru dalam rangka mengetahui seberapa jauh proram pengajaran telah berlangsung atau terlaksana, dan jika terlaksana seberapa baik pelaksanaan program tersebut. Pendek kata, evaluasi program dilaksanakan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari program pengajaran.

Dalam melakukan evaluasi program, apanya dari program yang dievaluasi?

a. Input
Siswa adalah subjek yang menerima pelajaran. Ada siswa pandai, kurang pandai, dan tidak pandai. Setiap siswa mempunyai bakat intelektual, emosional, social yang berbeda. Oleh karena itu dalam pembuatan program pengajaran hendaknya guru juga perlu memperhatikan aspek-aspek individu tersebut. Secara umum, hal-hal yang ada pada siswa berpengaruh terhadap keberhasilan belajar.

b. Materi atau kurikulum
Di Indonesia, kurikulum berlaku secara nasional karena kita menganut system sentralisasi. Meskipun penyusunan dan pengembangan kurikulum sekolah sudah dilakukan secara cermat dan melibatkan banyak pihak, namun tidak mustahil bahwa di lapangan masih juga dijumpai kelemahan dan hambatan. Wilayah Indonesia yang sedemikian luas mengandung keragaman yang tidak sedikit. Itulah sebabnya guru perlu dibekali dengan kemampuan untuk melakukan evaluasi program, termasuk mengevaluasi materi kurikulum. Sasaran yang perlu dievaluasi dari komponen kurikulum ini anatara lain, kejelasan pedoman untuk dipahami, kejelasan materi yang terantum dalam GBPP, urutan penyajian materi, kesesuaian antara sumber yang disarankan dengan materi kurikulum dan sebagainya.

c. Guru
Guru merupakan komponen penting dalam kegiatan belajar mengajar. Guru adalah orang yang diberi kepercayaan untuk meciptakan suasana kelas yang kondusif untuk pembelajaran. Guru adalah manusia biasa yang mempunyai banyak keterbatasan. oleh karena itu untuk menutupi kelemahan guru perlu dilakukan pembinaan dan penataran dalmrangka melaksanakan pembelajaran

d. Metode atau pendekatan dalam mengajar
Berbeda dengan evaluasi terhadap kurikulum, evaluasi terhadap metode mengajar merupakan kegiatan guru untuk meninjau kembali tentang metode mengajar, pendekatan, atau strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi kurikulum kepada siswa. Metode mengajar adalah cara-cara atau teknik yang digunakan dalam mengajar. Sedangkan strategi pembelajaran menunjuk kepada bagaimana guru mengatur waktu pemenggalan penyajian, pemilihan metoda, pemilihan pendekatan dan sebagainya.

e. Sarana
Komponen lain yang perlu dievaluasi oleh guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar adalah sarana pendidikan, yanga meliputi alat pelajaran dan media pendidikan. Sebelum guru memulai kegiatan mengajar, bahkan sebelum atau sekurang-kurangnya pada waktu menyusun rencana mengajar, guru telah memilih alat yang kira-kira dapat membantu melancarkan dan memperjelas konsep yang diajarkan. Selain guru, mungkin siswa juga dapat dijadikan titik tolak dalam menentukan apakah sarana yang digunakan di dalam kegiatan belajar mengajar sudah tepat. Mungkin saja pada waktu menentukan alat pelajaran guru berpikir bahwa pilihannya sudah tepat. Tetapi ternyata di dalam praktek pelaksanaan pengajaran, alat tersebut ternyata kurang atau sama sekali tidak tepat. Proses pengajarannya tidak menjadi semakin lancar, tetapi mungkin bahkan kacau balau. Apabila guru menjumpai dalam mengajar atau ketidak berhasilan siswa dengan nilai rendah-rendah, ia dapat mecoba mengadakan evaluasi terhadap sarana yang digunakan. Sasaran evaluasi yang berkenaan antara lain kelengkapannya, ragam jenisnya, modelnya, kemudahannya untuk digunakan, mudah dan sukarnya diperoleh, kecocokan dengan materi yang diajarkan, jumlah persediaan dibandingkan dengan banyaknya siswa yang memerlukan.

f. Lingkungan
Ada dua macam lingkungan, yaitu lingkungan manusia dan lingkungan bukan manusia. Yang dapat digolongkan sebagai lingkungan masukan lingkungan manusia bukan hanya bukan hanya kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai tata usaha di sekolah itu, tetapi siapa saja yang dengan atau tidak sengaja berpengaruh terhadap tingkat hasil belajar siswa. Sedangkan yang dimaksudkan dengan lingkungan bukan manusia adalah segala hal yang berada di lingkungan siswa yang secara langsung maupun tidak, berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Yang termasuk kategori lingkungan bukan manusia misalnya suasana sekolah, halaman sekolah, keadaan gedung dan sarana lain. Pengaruh lingkungan bukan manusia dapat positif maupun negative. Tatanan perabot kelas yang rapi dapat berpengaruh terhadap kesejukan suasana sehingga siswa dapat belajar dengan tenteram. Sebaliknya suasana yang gaduh di luar kelas dapat mengganggu konsentrasi siswa dan menyebabkan siswa tidak dapat seperti yang diharapkan.

Apabila guru ingin melakukan evaluasi program dengan lebih seksama, terlebih dahulu hendaknya menyusun rencana evaluasi sekaligus menyusun instrument pengumpulan data. Instrument pengumpulandat bisa berupa angket, pedoman wawancara, pedoman pengamatan dan lain sebagainya. Sebagai cara yang paling sederhana adalah menagadakan pendekatan terhadap peristiwa yang dialami sehari-hari di kelas.

Untuk mengevaluasi progam seorang guru tidak perlu dibebani secara sistematis sebagaimana layaknya seorang peneliti. Akan tetapi guru cukup membuat acuan singkat dan sederhana yang disusun dalm bentuk pertanyaan. Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut guru akan memperoleh umpan terhadap apa yang dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan objek atau sasaran evaluasi program yang meliputi keenam aspek tersebut di atas.

Pengajaran dan pembelajaran adalah merupakan suatu aktivitas yang dilaksanakan oleh seorang guru. Agar program pengajaran yang telah dilaksanakan itu baik atau tidak perlu dilaksanakan suatu penilaian, yang sering dikenal dengan evaluasi program pengajaran. Evaluasi program pengajaran ini meliputi 1) Input (masukan), 2) materi atau kurikulum, 3) Guru, 4) Metode atau pendekatan dalam mengajar, 5) Sarana: alat pelajaran ata media pendidikan, 6) lingkungan.

sumber : http://re-searchengines.com/afdhee5-07.html

STANDAR SEKOLAH: SMAN 10 Terbentur Sarana Penunjang

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Peningkatan status SMAN 10 Bandar Lampung dari sekolah standar nasional (SSN) ke rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) terbentur sarana penunjang. Sekolah ini diberi waktu hingga 2012 untuk memenuhi semua sarana yang belum tersedia.

Kepala SMAN 10 Bandar Lampung Izmir Hasan mengungkapkan hal itu di sela-sela penglepasan siswa kelas XII di Gedung Ernawan Khua Juai, Rabu (20-5).

"Untuk menjadi RSBI, sekolah harus memiliki enam laboratorium dan hingga saat ini kita baru memiliki tiga laboratorium," kata Izmir.

Di sisi lain, lahan sekolah terbatas sehingga untuk menambah bangunan terpaksa membangun ke atas. Selain itu, enam lokal bangunan SDN 1 Tanjunggading yang diserahkan ke SMAN 10 tidak bisa digunakan karena rusak.

Lokal bekas SDN 1 Tanjunggading bisa digunakan mendirikan laboratorium, tetapi perlu dana sangat besar. "Tahun ini kami mendapat dana rehabilitasi untuk satu ruangan dan kami gunakan untuk merehabilitasi salah satu ruangan di bekas lokal SDN 1 Tanjunggading," kata dia.

Siswa kelas XII yang mengikuti penglepasan sebanyak 224 orang. Dari jumlah tersebut, 50 di antaranya atau 22,32 persen sudah diterima di berbagai perguruan tinggi ternama di Tanah Air.

Jumlah siswa yang diterima di berbagai perguruan tinggi yakni Unila (28 orang), IPB (4), UGM (11), Unsri (1), Undip (2), dan STT Telkom (5). "Saya berharap semua siswa tahun ini lulus UN dan bisa melanjutkan pendidikan. Bagi mereka yang tidak bisa melanjutkan saya harap bisa mendapatkan keterampilan sebagai bekal hidup," kata dia.

Tahun ini juga ada beberapa siswa SMAN 10 yang mengukir beberapa prestasi, yakni Ziqiza Savina Rizki siswa kelas X yang ikut seleksi pertukaran pemuda ke Jepang, David Bangsawan mengikuti jambore ke Singapura. Dua siswa juga sedang ikut seleksi pertukaran pelajar Asean, yaitu Paradita dan Anisa Djawal.

sumber : Lampung Post - Uni


Perpustakaan Sekolah Sarana Peningkatan Minat Baca

Saat ini minat baca masih menjadi perkerjaan rumah yang belum terselesaikan bagi bangsa Indonesia. Berbagai program telah dilakukan untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Pemerintah, praktisi pendidikan, LSM dan masyarakat yang perduli pada kondisi minat baca saat ini telah melakukan berbagai kegiatan yang diharapkan mampu meningkatkan apresiasi masyarakat untuk membaca, akan tetapi berbagai program tersebut belum memperoleh hasil maksimal
Untuk mewujudkan bangsa berbudaya baca, maka bangsa ini perlu melakukan pembinaan minat baca anak. Pembinaan minat baca anak merupakan langkah awal sekaligus cara yang efektif menuju bangsa berbudaya baca. Masa anak-anak merupakan masa yang tepat untuk menanamkan sebuah kebiasaan, dan kebiasaan ini akan terbawa hingga anak tumbuh dewasa atau menjadi orang tua. Dengan kata lain, apabila sejak kecil seseorang terbiasa membaca maka kebiasaan tersebut akan terbawa hingga dewasa.
Pada usia sekolah dasar, anak mulai dikenalkan dengan hurup, belajar mengeja kata dan kemudian belajar memaknai kata-kata tersebut dalam satu kesatuan kalimat yang memiliki arti. Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menanamkan kebiasaan membaca pada anak. Setelah anak-anak mampu membaca, anak-anak perlu diberikan bahan bacaan yang menarik sehingga mampu menggugah minat anak untuk membaca buku. Minat baca anak perlu dipupuk dengan menyediakan buku-buku yang menarik dan representatif bagi perkembangan anak sehingga minat membaca tersebut akan membentuk kebiasaan membaca. Apabila kebiasaan membaca telah tertanam pada diri anak maka setelah dewasa anak tersebut akan merasa kehilangan apabila sehari saja tidak membaca. Dari kebiasaan individu ini kemudian akan berkembang menjadi budaya baca masyarakat.
Akan tetapi pembinaan minat baca anak saat ini sering terbentur dengan masalah ketersediaan sarana baca. Tidak semua anak-anak mampu mendapatkan buku yang mampu mengugah minat mereka untuk membaca. Faktor ekonomi atau minimnya kesadaran orang tua untuk menyediakan buku bagi anak menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan buku yang dibutuhkan. Tidak tersedianya sarana baca merupakan masalah besar dalam pembinaan minat baca anak. Anak-anak tidak dapat memanjakan minat bacanya karena tidak tersedia sarana baca yang mampu menggugah minat anak untuk membaca. Padahal pembinaan minat baca anak merupakan modal dasar untuk memperbaiki kondisi minat baca masyarakat saat ini.
Untuk mengatasi masalah ketersedian sarana baca anak dapat dilakukan dengan memanfaatkan eksistensi perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah dapat difungsikan sebagai institusi penyedia sarana baca cuma-cuma bagi anak-anak. Melalui koleksi yang dihimpun perpustakaan, perpustakaan sekolah mampu menumbuhkan kebiasaan membaca anak.
Tetapi amat disayangkan, perpustakaan sekolah yang dijadikan ujung tombak dalam pembinaan minat baca anak justru dalam kondisi yang memprihatikan. Bahkan saat ini banyak sekolah dasar yang belum memiliki perpustakaan. Data Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengungkapkan bahwa hanya 1% dari 260.000 sekolah dasar negeri yang memiliki perpustakaan (Kompas, 25/7/02). Keadaan ini tentu bertolak balakang dengan Undang-undang nomor 2 pasal 35 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional yang menyatakan bahwa setiap sekolah diwajibkan memiliki perpustakaan. ironis bukan, mana mungkin minat baca anak dapat terbina apabila sekolah tidak memiliki perpustakaan yang menyediakan buku sebagai sarana baca bagi siswa (anak).
Walaupun ada sekolah yang memiliki perpustakaan sekolah, perpustakaan sekolah belum dikelola dengan baik. Hanya sekolah-sekolah unggulan dan sekolah yang sadar akan pentingnya perpustakaan, memiliki perpustakaan yang dikelola secara baik oleh tenaga profesional.
Banyak perpustakaan sekolah yang pengelolaanya terkesan “yang penting jalan”. Hal ini terlihat dari segi koleksi, sarana perpustakaan serta tenaga pengolola perpustakaan sendiri. Koleksi perpustakaan sebagian besar berisi buku-buku paket sehingga kurang mampu menarik minat siswa untuk mengakses perpustakaan. Sarana dan prasarana perpustakaan yang seadaanya menyebabkan suasana perpustakaan kurang nyaman. Selain itu banyak perpustakaan sekolah yang tidak dikelola oleh tenaga profesional di bidang perpustakaan, perpustakaan dikelola oleh guru pustakawan (guru yang merangkap sebagai pengelola perpustakaan) yang memiliki tanggung jawab utama sebagai pengajar menyebabkan pengelolaan perpustakaan tidak optimal.
Sudah saatnya kondisi perpustakaan sekolah dasar diperbaiki. Perbaikan ini akan mewujudkan berpustakaan sebagai penyedia sarana baca ideal bagi anak-anak. Perbaikan ini akan memotivasi anak-anak untuk berkunjung dan membaca koleksi perpustakaan. Perbaikan yang dapat dilakukan antara lain, Pertama, koleksi perpustakaan terus ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Sudah saatnya perpustakaan tidak hanya berisi buku-buku paket, koleksi perpustakaan juga dapat berupa buku-buku bacaan yang mampu menarik minat siswa untuk membacanya. Selain itu perpustakaan dapat juga melengkapi koleksinya dengan koleksi audiovisual sehingga tidak memberikan kesan layanan yang monoton.

Kedua, sarana atua perabot perpustakaan perlu dilengkapi, perpustakaan dapat dilengkapi dengan pendingin udara, televisi dan komputer multimedia. Perabotan perpustakaan perlu didesain dan disusun sesuai dengan kondisi fisik anak-anak sehingga dapat memberikan kesan nyaman bagi anak. Ruang perpustakaan juga dapat dicat warna-warni dan dilukis gambar lucu sehingga menghilangkan kesan formil perpustakaan. Dengan perubahan kondisi fisik perpustakaan ini akan memberikan kesan nyaman anak berada diperpustakaan sehingga anak-anak akan rajin datang ke perpustakaan.
Ketiga, masalah SDM perpustakaan juga perlu mendapatkan perhatian. Perpustakaan harus dikelola oleh tenaga yang memiliki keahlian serta berlatar belakang ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi. SDM memiliki latar belakang ilmu perpustakaan tentu mengerti bagaimana mengelola serta mengembangkan perpustakaan berdasarkan kaidah ilmu perpustakaan. Memberikan tanggung jawab pegelolaan perpustakaan kepada guru perlu dikaji ulang, guru yang memiliki tugas utama sebagai tenaga pengajar tidak akan mampu maksimal dalam pengembangan perpustakaan karena harus membagi waktunya untuk mengajar. Perpustakaan akan tutup apabila guru tersebut mendapat tugas mengajar. Keadaan semacam ini tentu dapat menghambat proses pembinaan minat baca anak.
Keempat, sebenarnya masalah terbatasan koleksi, sarana perpustakaan serta minimnya SDM perpustakaan disebabkan karena keterbatasan dana. Keterbatasan dana menyebabkan perpusakaan tidak mampu membeli buku, melengkapi sarana perpustakaan serta membayar tenaga profesional untuk mengelola perpustakaan. Sebagai solusinya di perlukan perhatian pemerintah, pengelola sekolah serta peran aktif wali murid. Pemerintah perlu memberikan perhatian bagi pengembangan perpustakaan sekolah. Perhatian itu dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian dana bantuan pengembangan perpustakaan sekolah, kebijakan yang merangsang perkembangan perpustakaan sekolah serta penghargaan kepada mereka yang berjasa dalam mengembangkan perpustakaan. Pihak sekolah juga dapat mengoptimalkan keberadaan wali murid yang terhimpun dalam komite sekolah dalam pengembangan perpustakaan sekolah. Wali murid dapat dimintai bantuan dalam hal pendanaan perpustakaan. Tentunya. Wali murid tidak akan segan mengeluarkan biaya bagi pengembangan sekolah karena manfaatkan perpustakaan akan kembali kepada putra-putri mereka. Selain itu pihak sekolah juga dapat menyusun proposal pengembangan perpustakaan dan mengajukannya ke perusahaan, instansi atau individu yang memiliki perhatiaan dibidang pendidikan, minat baca dan perpustakaan.
Dengan berbagai perbaikan diatas maka perpustakaan akan semakin menarik. Perubahan yang menjadi motivasi bagi siswa untuk mengakses perpustakaan. Apabila perbaikan ini dilakukan dari sekarang maka 10 atau 15 tahun kedepan Indonesia akan menjadi bangsa yang gemar membaca. Dengan demikian berakhir sudah permasalahan minat baca yang seolah-olah menjadi perkejaan rumah yang tidak terselesaikan sampai saat ini.


Sumber: : http://www.heri_abi.staff.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=21&Itemid=33

7 Sarana Sekolah Tinggi Transportasi diresmikan

TANGERANG (Bisnis.com): Menhub Jusman Syafii Djamal meresmikan 7 sarana pembentukan sikap & mental di Sekolah Tinggi Transportasi� Departemen Perhubungan.

"Dengan ini saya meresmikan secara simbolis 7 sarana pembentukan sikap & mental untuk taruna transportasi," katanya di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug Tangerang, hari ini.

Menhub menjelaskan 7 sarana itu berupa fasilitas outbound training dan panjat tebing yang telah mendapatkan sertifikasi dari Federasi Panjat Tebing Indonesia.

Untuk setiap sarana ditempatkan empat orang instruktur khusus guna membentuk sikap dan mental taruna di sekolah transportasi.

Ketujuh sekolah di Dephub yang memperoleh sarana outbound itu antara lain STPI Curug dan Sekolah Tinggi Tranportasi Darat Cibitung Bekasi.

"Peralatan itu untuk mendidik taruna mempunyai mental dan attitude yang baik," ungkap Jusman.

Kepala Badan Diklat Perhubungan Dedi Darmawan menjelaskan ketujuh sarana itu merupakan alat bantu yang efektif bagi pembentukan sikap & mental taruna.

"Sarana itu juga telah diuji keefektifan dan keselamatannya," ujar Dedi.

Dalam peresmian itu ditampilkan prosesi seluncur tujuh taruna wanita dari ketinggian hampir 50 meter.

sumber : Republik Indonesia - http://web.bisnis.com/sektor-riil/transportasi/1id115389.html

Pengadaan sarana/prasarana sekolah harus jeli

BANJARNEGARA - Para kepala sekolah diharapkan untuk jeli dan tidak terburu-buru, dalam memilih alat peraga untuk pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dan perpustakaan melalui dana alokasi khusus (DAK).

Hal tersebut disampaikan Koordinator Konsorsium Produsen Sarana Pendidikan Nasional (KPSPN) wilayah eks Karesidenan Banyumas, M Rudi Haryono, di sela-sela acara pameran alat peraga sarana pendidikan di Kantor Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Banjarnegara, Sabtu (26/5). Pameran peraga sarana dan prasarana sekolah dilakukan bersamaan dengan penandatanganan rencana anggaran belanja (RAB) 83 sekolah dasar (SD).

’’Jangan sampai salah, dan harus sesuai dengan surat edaran menteri agar tidak berurusan dengan hukum,’’ kata Rudi.

Menurut dia, sebelum mengambil keputusan, hendaknya melihat dulu kualitas dan isi sehingga sesuai dengan kebutuhannya


Sementara itu menurut Kepala Seksi Kurikulum Disdik Banjarnegara yang juga sebagai Pejabat Pelaksana Tehnis Kegiatan DAK, Ahmad Kusmanto, tahun ini Banjarnegara mendapat Rp 18 miliar lebih dari pusat, untuk pengadaan alat peraga bagi sarana dan prasarana sekolah untuk 83 SD.

Alokasi DAK untuk 83 SD itu tidak sama, karena disesuaikan dengan tingkat kerusakan. ’’Sebagian besar Rp 250 juta, namun ada yang Rp 275 juta,’’ kata dia.

Keputusan sekolah


Pengelolaan DAK adalah swakelola dengan melibatkan partisipasi komite sekolah dan masyarakat sekitar. Acuan penggunaan DAK adalah rehabilitasi fisik berupa membangun ruang kelas, rumah dinas, kamar mandi dan WC, serta mebelair. Selain itu juga pengadaan sarana pendidikan dan perpustakaan.

Selain dari KPSPN, sejumlah rekanan yang ikut memeragakan sarana pendidikan dalam pameran tersebut adalah Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) dan KPI. Menurut Rudi Haryono, ada 20 penerbit yang tergabung dalam KPSPN yang mempamerkan produknya berupa buku atau alat peraga. ’’Dan dalam praktiknya melalui CV lokal Banjarnegara,’’ ujar dia.

Ahmad Kusmato mengatakan, keputusan mengambil barang dari mana adalah hak masing-masing sekolah. Beberapa sekolah ada yang menunda pengadaan sarana sekolah, karena masih fokus pada pembangunan fisik gedung sekolah dulu.

sumber : koran sore wawasan - Ito TJ

Minimnya Fasilitas Perpustaakan di Sekolah

Di bawah ini sebuah berita yang dilansir oleh media [kompas.com] sepekan lalu tentang perpustakaan yang ada di dunia pendidikan khususnya tingkat dasar. Paling tidak, informasi ini menggambarkan betapa minimnya fasilitas perpustaakaan di lingkungan lembaga pendidikan di negeri ini. Seakan-akan buku dan sumber bacaan itu masih ‘mahal’ bagi pendidikan, padahal bukannya buku itu jendela dunia?.

Fasilitas perpustakaan sebagai salah satu sarana dan prasarana di sekolah yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan masih rendah. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan, baik soal ruangan perpustakaan maupun koleksi buku-buku yang tersedia, justru terjadi di tingkat pendidikan dasar.

Dari data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan penambahan ruang perpustakaan di sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan dasar sekitar 10 persen.

Yanti Sriyulianti, Koordinator Education Forum, di Jakarta, Selasa (13/1), mengatakan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai standar nasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat bisa menuntut pemerintah pusat dan daerah jika terjadi kesenjangan mutu pendidikan akibat sarana dan prasarana yang timpang di antara perkotaan dan pedesaan atau di antara sekolah-sekolah yang ada.

Perpustakaan yang merupakan salah satu tempat untuk siswa dan guru mencari sumber belajar belum dianggap penting. Keberadaan perpustakaan hanya sekadar memenuhi syarat tanpa memperhatikan bagaimana seharusnya fasilitas perpustakaan disediakan dan bagaimana menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa dan guru untuk menumbuhkan minat baca.

Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan, mengatakan pendidikan dasar di Indonesia yang diamanatkan konstitusi untuk menjadi prioritas pemerintah masih berlangsung ala kadarnya. Pemerintah masih berorientasi pada menegejar angka statistik soal jumlah anak usia wajib belajar yang bersekolah, sedangkan mutu pendidikan dasar masih minim.

Padahal, soal sarana dan prasarana pendidikan di setiap sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang standar nasional sarana dan prasarana. Peraturan ini memberi arah soal keberadaan perpustakaan di setiap sekolah.

sumber : kompas

Menakar “Sektor” Dana Pendidikan 2009

KabarIndonesia - Indonesia sebagai negara berkembang perlu memerhatikan keadaan perekonomian serta pendidikan. Dana pendidikan pun terus dipikirkan dari tahun ke tahun. Kondisi perekonomian pada negara berkembang secara langsung mempengaruhi situasi pendidikan. Ini menyangkut besaran dana dan prioritas peningkatan pendidikan.

Indonesia tercatat masih memiliki sejumlah kelemahan dalam dunia pendidikan, hal itu dibuktikan dari tingkat bantuan, pemerataan, bangunan, serta fasilitas untuk pendidikan mulai dari tingkat dasar, mengengah, sampai tinggi. Untuk kualifikasi perguruan tinggi, kebijakan masih diberlakukan antara pihak pemerintah dengan universitas masing-masing.

Kebijakan pendidikan memberikan pengaruh tersendiri akan globalisasi pendidikan. Pemerintah pada tahun 2009 akan mengeluarkan kebijakan pendidikan khususnya tahap perguruan tinggi, di mana universitas-universitas yang ada di Indonesia akan berubah menjadi BHP atau Badan Hukum Pendidikan.
Kebijakan ini mendapat simpati berbeda dari pelaku pendidikan mulai peserta didik sampai pendidik.

Sebenarnya jika berbicara konsep, pemerintah perlu sekali menggali mengenai kebijakan yang akan dikeluarkan seperti pemerataan pembangunan sekolah, pengadaan guru dan sarana prasarana serta penetapan kualitas input dan output yang meliputi nilai standar kelulusan serta seleksi peserta didik pada tingkat tertentu.

Seperti dilansir Jawapos 13 Desember 2008 bahwa untuk tahun 2009 pemerintah menganggarkan 20 persen atau 224,4 triliun rupiah untuk penanganan dunia pendidikan. Kebijakan ini merupakan kualitas tertinggi dalam dunia pendidikan Indonesia dimana sebelumnya pemerintah hanya menganggarkan kurang dari 20 persen, sedangkan negara lain sudah menempuh 20 persen terlebih dahulu.

Pemerintah memang berusaha keras untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan, tetapi muncul pula permasalahan takaran dana yang akan digunakan. Menurut sumber Jawapos 25 Desember 2008, rincian dana tersebut akan digunakan untuk menggratiskan biaya pendidikan, pembangunan infrastruktur sekolah, dan peningkatan kualitas guru.

Pemerintah perlu menakar ulang mengenai pemakaian anggaran pendidikan. Kebijakan tersebut paling utama adalah gratifikasi pendidikan, penganggaran pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana sekolah. Pemerintah harus berani menggratiskan pendidikan untuk sekolah dasar, menengah, atas bahkan untuk perguruan tinggi. Masih tercatat sejumlah kekurangan anak-anak Indonesia yang putus sekolah dari usia 5 sampai 13 tahun.

Angka putus sekolah ini perlu dikurangi dengan cara melakukan gratifikasi yang meliputi dana masuk sekolah, uang gedung, uang iuran bulanan serta sumbangan-sumbangan lainnya. Seperti diulas Kompas 6 Desember 2008, bahwa mendiknas Bambang Sudibyo melarang pengelola SD, SMP untuk menarik pungutan terhadap siswa, karena pemerintah akan memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah di Indonesia.

Pemerintah melarang konsep sekolah bisnis, dimana siswa diberikan aturan untuk membeli keperluan sekolah seperti seragam, buku, dan fasilitas penunjang pendidikan lain. Pemerintah perlu juga menetapkan sangsi bagi sekolah yang megeluarkan kebijakan bisnis dalam dunia pendidikan, sangsi tersebut dapat berupa teguran, penurunan pangkat, penundaan pangkat dan lain-lain.

Kompas edisi 8 Desember kemarin mengungkap data yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan, dari tahun 1995 sampai 2007, siswa yang masuk SD tahun 1995 ada 4,62 juta siswa. Kemudian lulus SD tahun 2000 berjumlah 3,95 juta atau sekitar 85,6 persennnya.

Dari lulusan SD itu, yang meneruskan ke jenjang SLTP pada 2001, sekitar 3,49 juta siswa yang berarti hanya 75,7 persen dari jumlah lulusan SD. Pada lulusan SLTP tahun 2003 hanya tercatat 3,05 juta siswa atau hanya 66,1 persen dari jumlah siswa yang masuk SLTP.

Sementara itu, dari jumlah lulusan SLTP itu yang meneruskan masuk SLTA pada 2004 hanya 2,23 juta siswa yang artinya hanya 48,2 persen dari jumlah siswa yang sudah lulus SLTP dan yang berhasil menamatkan sekolah di jenjang SLTA ini pada 2007 hanya 2,02 juta siswa atau hanya sekitar 43,8 persennya. Selebihnya, siswa SLTA itu putus di tengah jalan.

Pokok kedua yang perlu diperhatikan adalah pembangunan infrasutruktur sekolah di Indonesia, ini mengingat masih sulit terjangkaunya pendidikan di daerah pedalaman. Pemerintah perlu membuka jalan untuk terus mengamati perkembangan daerah terpencil agar tersentuh masalah pendidikan.

Anggaran dana tahun 2009 ini penting untuk membangun gedung sekolah baru baik itu bangunan sekolah murni atau sekolah satu atap khususnya di daerah pedalaman. Selama tahun 2008 masih terdapat gedung sekolah yang rusak atau ambruk, kejadian ini tidak perlu terulang pada tahun 2009 karena pemerintah harus melakuakan act atas evaluasi sebelumnya.

Seperti terlihat pada umumnya bahwa sekolah-sekolah negeri masih banyak yang kondisi bangunannya mengalami kerusakan, ambruk, bahkan ada kasus yang sampai bangunan sekolah mengalami masalah sertifikasi bangunan sehingga peserta didik harus belajar di luar gedung sekolah, sungguh ironis keadaan ini mengingat pemerintah sedang gencar mencanangkan program wajib belajar 12 tahun.

Pokok selanjutnya adalah mengenai penganggaran sarana dan prasarana penunjang pendidikan (sarpras). Sarpras ini berfungsi sebagai pendidik kedua setelah guru tentunya. Pemerintah perlu mengatur agar pelaksanaan pendidikan semakin meningkat. Dalam substansi manajemen pendidikan disebutkan bahwa manajemen sarana dan prasarana juga perlu dipenuhi.

Sarpras memiliki andil besar untuk mempertajam siswa mengetahui dan mempraktekkan materi pendidikan, tak hayal pada sekolah yang sarprasnya memadai akan memiliki tingkat output yang tinggi. Pemerintah harus jeli akan kebutuhan pendidikan, sehingga dapat mengoptimalkan anggaran dana yang turun tahun 2009 dengan baik. Pada daerah pedalaman selain diperlukan pembangunan gedung, tenaga pengajar, tentunya pemenuhan sarpras harus diperkuat, ini mengingat kondisi daerah pedalaman yang jauh dari peradapan global.

Pembenahan total harus berani dilaksanakan guna mewujudkan tujuan pendidikan secara nyata, tidak hanya sekedar wacana dan bahasan dalam dunia pendidikan. Diharapkan dari takaran yang sudah diorganisasikan tersebut bisa memacu keadaan pendidikan Indonesia untuk terus maju dan berkembang seperti pada negara-negara lain.

Totalitas pemerintah untuk melakukan kebijakan sangat perlu sekali guna memberdayakan anggaran dana 224,4 triliun rupiah untuk dunia pendidikan agar pencapaian target pendidikan tahun 2009 bisa terlaksana sesuai rencana.
(*)


sumber : www.kabarindonesia.com - Nanok Triyono