3.11.2009

Mendiknas: Munafik, Media Massa Tak Dukung UU BHP

Senin, 16 Februari 2009 | 09:34 WIB

Laporan wartawan Kompas Ester Lince Napitupulu

JAKARTA, SENIN — Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, dengan diberlakukannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), yayasan dan lembaga pendidikan harus transparan dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan. Laporan soal pembiayaan pendidikan yang sudah diaudit profesional itu mesti diumumkan secara terbuka melalui media massa.

"UU BHP ini membawa berkah buat media massa nasional. Sebab, laporan keuangan BHP harus diumumkan kepada publik lewat media massa. Makanya, munafik jika media massa nasional yang menolak UU BHP. Perguruan tinggi swasta jangan pasang pengumuman audit keuangan di media massa yang tolak UU BHP," ujar Bambang yang tampil sebagai pembicara kunci dalam seminar nasional yang digelar Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta, Senin (16/2).

Bambang mengatakan, bagi yayasan diberikan waktu enam tahun untuk menyesuaikan diri dengan tata kelola dan pendanaan BHP Penyelenggara (BHPP). Pemilik yayasan masih bisa dominan, tetapi tetap harus bisa mewadahi berbagai representasi banyak pihak. "Perlu perubahan dalam anggaran dasar dari yayasan yang ada. Sifat dari BHPP ini harus nirlaba," kata Bambang.

Berlakukan Sistem Subsidi Silang di Sekolah

Minggu, 20 Juli 2008 | 18:55 WIB

BANDUNG, MINGGU - Sekolah harus bisa memberi akses bagi masyarakat tidak mampu. Di lain pihak, tetap tidak mengabaikan kualitasnya. Ini bisa ditempuh salah satunya melalui kebijakan subsidi silang pendanaan pendidikan.

Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Barat Uu Rukmana, Minggu (20/7). Menurutnya, konsep subsidi silang jauh lebih realistis dan ideal dibandingkan ide sekolah gratis yang kini banyak digembor-gemborkan. Konsep subsidi silang menyatukan keunggulan keterbukaan akses siswa miskin tanpa meninggalkan kualitas.

"Ini semua tergantung dari peranan komite sekolah. Mereka lah yang merancang. Bagi siswa-siswa miskin, jika itu disepakati, kan bisa saja mereka dibebaskan dari biaya," ujarnya. Sebagai gantinya, mereka yang mampu itu sepantasnya membayar lebih. Peran komite sekolah, sangatlah vital dalam mewujudkan konsep ini.

Menurut Uu, pembiayaan pendidikan seringkali tidak efektif. Baik dalam tataran pelaksanaan di sekolah maupun yang dianggarkan pemerintah daerah. "Anggaran jangan banyak diarahkan pada proyek-proyek. Ini hanya akan mengundang korupsi. Sebaliknya, seharusnya lebih kongkret, mengena ke masyarakat (pendidikan) langsung," tuturnya.

Terkait persoalan pembiayaan pendidikan ini, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jabar Dadang Dally mengingatkan sekolah agar tidak memungut biaya dalam bentuk apa pun selama proses penerimaan siswa baru. Tujuannya, agar sejak awal, masyarakat punya akses pendidikan ke sekolah mana pun. Tidak terkendala biaya. Permasalahan soal biaya pendidikan di sekolah ini menjadi agenda utama di dalam pertemuan Disdik Jabar dengan ketua komite kerja kepala sekolah se-Jabar, beberapa hari lalu.

Penetapan besarnya dana sumbangan pendidikan (DSP) itu harus didasarkan atas kesepakatan bersama pengelola dengan orang tua siswa yang diwakili komite sekolah. Besarnya sumbangan diukur dari kemampuan masyarakat. Dan, tidak boleh ada unsur paksaan, ucapnya dalam siaran persnya. Dana yang masuk ke sekolah pun wajib untuk dikelola secara transparan.

Mekanisme pasar bebas

Pelaksana Tugas Wali Kota Kota Bandung Edi Siswadi menuturkan, mekanisme dana bantuan ke sekolah dari pemda ke depannya menggunakan prinsip pramida terbalik. "Ke depan, dana bantuan itu hanya akan diberikan ke sekolah-sekolah yang tidak mampu saja. Sebaliknya, sekolah-sekolah favorit tidak ada (bantuan). Menggunakan mekanisme pasar bebas saja. Sehingga, pemerintah bisa lebih fokus," ucapnya.

Dana bantuan itu bernama UYHD (uang yang harus dipertanggungjawabkan). Besaran dana ini di tiap-tiap sekolah rata-rata Rp 150 juta. Sekolah favorit mendapat porsi terkecil, yaitu Rp 90 juta. Ini terjadi karena sekolah favorit dinilai mampu mendanai kebutuhannya sendiri, karena tingginya minat masyarakat.

Anggaran Pendidikan Pemkot Surabaya Lebih Besar Daripada Jatim

Kamis, 25 September 2008 | 16:26 WIB

SURABAYA, KAMIS - Pemerintah Kota Surabaya mengusulkan anggaran pendidikan dengan nilai lebih besar daripada Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada RAPBD 2009. Surabaya mengusulkan Rp 680,1 miliar, Sementara Jawa Timur hanya Rp 600 miliar.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, usulan itu menyesuaikan dengan amanat 20 persen anggaran belanja untuk anggaran pendidikan. Di Surabaya, pemenuhan itu diterjemahkan menjadi angka tersebut. "Kami menghitung total belanja di luar gaji. Jadi ini murni untuk pembiayaan pendidikan," ujarnya di Surabaya, Kamis (25/9).

Pada RAPBD Surabaya 2009, total belanja di luar gaji dan belanja rutin adalah Rp 3,5 triliun. Dengan demikian, 20 persen dari angka itu adalah Rp 680,1 miliar. "Anggaran pendidikan bukan berarti dana yang dikelola Dinas Pendidikan. Anggaran pendidikan akan disebar di beberapa satuan perangkat dinas sesuai kewenangan masing-masing," ujarnya.

Dinas Pendidikan hanya akan langsung mengelola dana RP 244,2 miliar. Dana itu murni untuk belanja pendidikan seperti peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan guru, peningkatan mutu dan layanan pendidikan. Sementara belanja-belanja perangkat dan perbaikan fasilitas sekolah diserahkan ke instansi lain. "Dinas Pendidikan biar fokus untuk urusan pendidikan murni saja," ujarnya.

Sementara Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur Rasiyo mengungkapkan, pihaknya mengusulkan anggaran pendidikan Rp 600 miliar. Itu hanya dana yang dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur. "Sekarang sedang dibahas di Bappeprov (Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi). Saya kurang tahu bagaimana nanti hasilnya. Bisa jadi sesuai usulan, bisa jadi berbeda," ujarnya.

Besar usulan itu dianggap sudah memenuhi alokasi 20 persen dari APBD. Seperti Pemkot Surabaya, Pemprov Jatim melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menghitung alokasi 20 persen dari APBD yang sudah tidak belanja rutin dan gaji pegawai. "Jadi hanya dihitung untuk belanja langsung saja. Usulan Rp 600 miliar itu juga murni untuk belanja pendidikan. Tidak termasuk gaji pegawai," ujarnya.

Pendidikan Gratis Dikaji DPR

Kamis, 17 April 2008 | 12:25 WIB

JAKARTA, KAMIS - Pendidikan gratis atau tanpa dibiaya, terutama di tingkat pendidikan dasar sedang dikaji Komisi X DPR. Namun, pembahasan ini masih terkendala penetapan besarnya ideal cost biaya pendidikan setiap siswa per tahun.

"Pendidikan gratis masih dibahas. Tapi masih belum sepakat soal besarnya biaya pendidikan ideal per siswa setiap tahun. Namun,kebijakan pendidikan gratis ini harus mulai serius dibahas," kata Cyprianus Aoer, anggota Komisi X DPR di Jakarta, Kamis (17/4).

Menurut Cyprianus, soal penganggaran pendidikan ini masih terkendala dengan belum adanya komitmen untuk bisa memenuhi sekurang-kurangnya 20 persen pendidikan dari APBN. Akibatnya, banyak program pendidikan yang kurang maksimal dan masih membebani masyarakat.

Kepala Dinas Pendidikan Menengah Dan Tinggi DKI Jakarta Margani M Mustar, mengatakan, pemerintah provinsi DKI Jakarta terus memprioritaskan pendidikan. APBD sudah mengalokasikan 20 persen untuk pendidikan.Namun, Margani mengakui jikka beban biaya pendidikan yang masih ditanggung masyarakat di DKI Jakarta masih cukup besar, berkisar 30-35 persen. "Tapi peran serta masyarakat dalam pembiayaan pendidikan ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Harus melalui prosedur persetujuan komite sekolah," kata Margani. (ELN)

Pembiayaan Pendidikan Perlu Diatur Lebih Tegas

Rabu, 5 Maret 2008 | 20:39 WIB

JAKARTA, RABU - Pembiayaan pendidikan masih harus diatur lebih tegas lagi. Terutama dengan adanya istilah pendidikan gratis yang kian mencuat, terutama dalam kampanye-kampanye pemilihan pejabat.

Hal ini terungkap dalam diskusi publik bertajuk Membedah Persfektif Pembiayaan Pendidikan, Rabu (5/3). Salah satu pembicara, pengamat pendidikan sekaligus Sekretaris Jenderal Dewan Pendidikan DKI Jakarta, Agus Suradika mengungkapkan, terdapat kesenjangan yang lebar terhadap pemaknaan "pendidikan gratis." Masyarakat mempersepsi pendidikan gratis sebagai gratis untuk semua keperluan pendidikan mulai dari SPP, buku, tas, pakaian, bahkan ongkos ke sekolah.

Pemerintah sendiri tidak mendefinisikan dengan jelas makna dari pendidikan gratis. Pemerintah pusat mengimplementasikannya dalam bentuk BOS atau Bantuan Operasional Sekolah. Sedangkan, pemerintah daerah seperti di DKI Jakarta melaksanakannya dalam bentuk BOP atau Biaya Operasional Pendidikan. Pendidikan gratis di DKI Jakarta diterjemahkan sebagai BOS ditambah BOP, tanpa dirinci biaya dan bantuan itu untuk pembiayaan apa saja.

Agus Suradika mengatakan, sebetulnya jika pemerintah mewajibkan warga negara untuk belajar melalui program wajib belajar pendidikan dasar, berarti pendidikan merupakan barang publik. Dengan diposisikan sebagai barang publik, pemerintah berwenang untuk mengatur. Namun, agar memiliki kekuatan memaksa, pemerintah sudah seharusnya menanggung bagian terbesar dari dana pendidikan.

3.09.2009

Masih Ada 153 Sekolah Rusak di Madiun

Rabu, 11 Februari 2009 | 19:30 WIB

MADIUN, RABU - Masih ada 153 sekolah di Kabupaten Madiun yang kondisinya rusak. Perbaikan seluruh sekolah rusak ini diperkirakan baru tuntas pada tahun 2010. Terbatasnya dana yang ada membuat tidak seluruh sekolah rusak bisa direhabilitasi tahun ini.

Bupati Madiun, Muhtarom menyampaikan hal ini usai meninjau rehabilitasi SDN Garon 2 di Kecamatan Balerejo, Kabupaten Madiun, Rabu (11/2). Rehabilitasi enam ruangan kelas di sekolah tersebut menggunakan dana alokasi khusus dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Madiun, Sumardi menjelaskan, pada tahun 2008, ada 82 sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah yang direhabilitasi. Dana yang dihabiskan untuk merehabilitasi sekolah-sekolah ini mencapai Rp 21,3 miliar. Sebanyak Rp 18,4 miliar dana DAK dari APBN sedangkan Rp 2,9 miliar merupakan dana dari APBD Kabupaten Madiun.

Sementara tahun ini, rencananya ada 92 sekolah dasar negeri yang bakal direhabilitasi. Dana sebesar Rp 24 miliar akan digelontorkan untuk merehabilitasi sekolah-sekolah ini. Seba nyak Rp 22 miliar diantaranya dari DAK APBN dan Rp 2 miliar dari APBD Kabupaten Madiun.

Setiap sekolah yang akan direhabilitasi akan mendapatkan bantuan dana sebesar Rp 250 juta. Dana bantuan ini akan digunakan untuk merehabilitasi ruangan kelas sebanyak Rp 160 juta sedangkan Rp 90 juta lagi untuk sarana dan prasarana sekolah dan perpustakaan sekolah.

"Penggunaan dana sepenuhnya swakelola pihak sekolah bersama komite sekolah dan masyarakat sekitar sekolah," kata Sumardi.

Bank Dunia Bantu Biaya Operasional Sekolah

Senin, 13 Oktober 2008 | 18:23 WIB

JAKARTA, SENIN - Di tengah krisis keuangan global, Bank Dunia tetap menyatakan komitmennya untuk membantu pemerintah Indonesia tahun depan, terutama di bidang pendidikan, khususnya Biaya Operasional Sekolah (BOS), kesehatan, infrastruktur, perkuatan pemerintahan daerah serta Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.

Total komitmen dana yang akan dikucurkan tahun 2009 mendatang sekitar 1,9 miliar dollar AS. Dari total itu, sebanyak 300 juta dollar atau equivalen dengan Rp 2,8 triliun akan dialokasikan khusus untuk biaya operasional sekolah (BOS). Sebagian kecil sisanya digunakan untuk pendidikan lainnya.

Demikian disampaikan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta saat dihubungi Kompas di Washington DC, Amerika Serikat, Senin (13/10) sore.

Menurut Paskah, komitmen tersebut disampaikan setelah pertemuan dua hari lalu antara delegasi Indonesia dengan Managing Director Bank Dunia Juan Jose Daboub dan Wakil Presiden Bank Dunia untuk Wilayah Asia Timur dan Pasifik Charles Adam.

Sejak Pelaksana Tugas (Plt) Menko Perekonomian, yaitu Menkeu Sri Mulyani Indrawati diminta pulang ke Jakarta, Paskah mewakili pemerintah Indonesia. Delegasi Indonesia lainnya adalah Dirjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto dan Deputi Menneg PPN/Bappenas Lukita Dinarsyah Tuwo.

"Kita sebenarnya mengajukan anggaran sebesar 1,4 miliar dollar AS untuk tahun depan, namun Bank Dunia justru menambah sampai 1,9 miliar dollar AS. Dan, sebanyak 300 juta dollar akan dialokasikan untuk BOS. Sebagian kecil sisanya untuk pendidikan lainnya," ujar Paskah.

Paskah menyatakan, komitmen Bank Dunia sejalan dengan komitmen pemerintah yang akan memenuhi kewajiban 20 persen dari total penerimaan negara untuk pendidikan.

"Dengan komitmen Bank Dunia, yang cukup besar, pemerintah bisa berkosentrasi dalam pendanaan pendidikan yang 20 persen untuk gaji dan kesejahteraan guru dan dosen serta pemenuhan wajib belajar sembilan tahun serta pemenuhan sarana dan prasanana pendidikan secara nasional," lanjut Paskah.

Selama ini, dana BPS yang diterima setiap sekolah digunakan untuk memperbaiki dan memenuhi sarana dan prasarana bangunan sekolah.

Delapan Sekolah Ditutup

Rabu, 27 Februari 2008 | 03:45 WIB

jakarta, kompas - Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta menutup delapan bangunan sekolah karena rusak parah, Selasa (26/2). Aktivitas belajar mengajar diminta segera dipindahkan ke sekolah terdekat yang layak pakai.

Kedelapan sekolah tersebut, yaitu SD 21 dan SD 22 Kramatjati Jakarta Timur, SD 05, 06, 07, dan 08 Petamburan, Jakarta Pusat, SMP 220 Jakarta Barat, serta SMP 193 Jakarta Timur.

Kepala Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) DKI Jakarta Sylviana Murni menegaskan, akan segera bertindak untuk mengatasi masalah sekolah rusak. Salah satu upayanya, yaitu pihaknya akan memotong anggaran perjalanan dinas guna dialihkan ke anggaran perbaikan gedung sekolah.

Pada tahun 2008, Pemprov DKI mengalokasikan anggaran Rp 675.250.000.000 untuk merenovasi 437 SD/SMP. Namun, yang disetujui dalam APBD hanya biaya renovasi 22 sekolah dengan rincian 12 SD dan 10 SMP," katanya.

Total dana anggaran tersebut, kata Sylviana, belum termasuk perbaikan berat seperti yang harus dilakukan terhadap 60 sekolah di Jakarta Timur. Biaya untuk perbaikan 60 sekolah itu mencapai Rp 800 juta - Rp 1,5 miliar.

3.000 Siswa Menumpang

Pantauan Kompas, hingga Selasa kemarin, akibat sekolah rusak, sekitar 3000 siswa terpaksa menumpang belajar. Sebagian besar murid yang terpaksa mengungsi tersebut, terdapat di Jakarta Barat, antara lain, SDN 01 Taman Sari yang memiliki lebih dari 200 siswa, SDN Kembangan Utara 0I & 02 (400an siswa), SMPN 220 (780 siswa), serta SMPN 249 (700an siswa) di Menceng, Tegal Alur, Kali Deres.

Di Jakarta Pusat, selain SDN 03 dan 012 Sumur Batu Utara, Kemayoran (500 siswa), SDN Petamburan 07 dan 08 menumpang di gedung SDN 05 dan 06. Di Jakarta Timur, SDN 21 Kramat Jati (115 siswa) juga terpaksa pindah tempat belajar.

SDM Buruk

Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Arief Rachman mengatakan, jika sekolah rusak dibiarkan tanpa perbaikan, 20 - 25 tahun ke depan, Indonesia akan kekurangan sumber daya manusia berkualitas.

Arief Rachman menambahkan, minimnya anggaran pendidikan dalam APBD DKI menunjukkan pemerintah belum mengedepankan pendidikan sebagai prioritas.

”Kondisi saat ini, adalah bentuk kemunduran kualitas pendidikan. Namun, kita tidak boleh pesimis. Saya mengimbau agar masyarakat tidak hanya bertopang kepada pemerintah. Para orang tua murid dan warga secara umum juga bertanggungjawab atas kondisi yang terjadi saat ini,” kata Arief Rachman.

Sekretaris Jendral Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka dan Koordinator Koalisi Pendidikan, Lodi Paat, yang dihubungi terpisah mengatakan, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, gubernur dan para pembantunya, serta elit di DPRD DKI bisa dipidanakan bila melakuan pembiaran terhadap gedung-gedung sekolah yang membahayakan keselamatan siswa.

Keduanya mengimbau orang tua murid berpartisipasi aktif membangun masyarakat madani, dan melakukan gerakan bersama, seperti gugatan perwakilan kelas. ”Tidak cukup mengandalkan DPRD. Orang tua murid harus aktif melakukan fungsi legislatif, dan mengajukan tuntutan-tuntutan publik lebih keras kepada gubernur,” kata Paat.

Arist berpendapat, hak anak atas pendidikan bukan hanya terbatas pada bantuan dana, tetapi juga infrastruktur, sarana dan prasarana sekolah. Dalam kondisi apa pun, pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dan menjamin kelangsungannya agar tercipta sumber daya manusia berkualitas. (WIN/TRI/NEL)

3.06.2009

Minim, Perpustakaan di Tingkat Pendidikan Dasar

Selasa, 13 Januari 2009 | 22:52 WIB

JAKARTA, SELASA - Fasilitas perpustakaan sebagai salah satu sarana dan prasarana di sekolah yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan masih rendah. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan, baik soal ruangan perpustakaan maupun koleksi buku-buku yang tersedia, justru terjadi di tingkat pendidikan dasar.

Dari data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan penambahan ruang perpustakaan di sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan dasar sekitar 10 persen.

Yanti Sriyulianti, Koordinator Education Forum, di Jakarta, Selasa (13/1), mengatakan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai standar nasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat bisa menuntut pemerintah pusat dan daerah jika terjadi kesenjangan mutu pendidikan akibat sarana dan prasarana yang timpang di antara perkotaan dan pedesaan atau di antara sekolah-sekolah yang ada.

Perpustakaan yang merupakan salah satu tempat untuk siswa dan guru mencari sumber belajar belum dianggap penting. Keberadaan perpustakaan hanya sekadar memenuhi syarat tanpa memperhatikan bagaimana seharusnya fasilitas perpustakaan disediakan dan bagaimana menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa dan guru untuk menumbuhkan minat baca.

Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan, mengatakan pendidikan dasar di Indonesia yang diamanatkan konstitusi untuk menjadi prioritas pemerintah masih berlangsung ala kadarnya. Pemerintah masih berorientasi pada menegejar angka statistik soal jumlah anak usia wajib belajar yang bersekolah, sedangkan mutu pendidikan dasar masih minim.

Padahal, soal sarana dan prasarana pendidikan di setiap sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang standar nasional sarana dan prasarana. Peraturan ini memberi arah soal keberadaan perpustakaan di setiap sekolah.

DKI Akan Rehabilitasi 65 Persen Gedung Sekolah

Selasa, 3 Februari 2009 | 17:02 WIB

JAKARTA, SELASA — Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, Bidang Sarana dan Prasarana Pendidikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan merehabilitasi 321 gedung sekolah SDN, SMPN, SMAN, dan SMKN. Jumlah ini jauh dari yang diusulkan pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta kepada DPRD.

Dalam jumpa pers di balai kota, Selasa (3/2), Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Pemprov DKI Jakarta Didi Sugandi mengatakan, ke-321 gedung sekolah ini terbagi dalam 3 tipe rehabilitasi. Yakni rehab total sebanyak 19 sekolah, rehab sedang 10 sekolah, dan rehab berat 229 sekolah.

"Data rekapitulasi gedung sekolah yang diusulkan sebesar 497 gedung, 321 gedung dikerjakan tahun ini dan sisanya 179 gedung sekolah belum masuk target rehab tahun ini," katanya. Pada rehab total realisasi anggaran mencapai sekitar Rp 233 miliar dan rehab berat sebanyak Rp 348 miliar, sementara Didi tidak merinci besaran untuk rehabilitasi sedang.

Adapun kriteria sebuah sekolah masuk rehab total adalah umur bangunan lebih dari 30 tahun, tingkat kerusakan lebih dari 65 persen, tidak memilik ruang penunjang serta konstruksi belum standar, masih menggunakan bahan kayu yang sudah rapuh, dan konstruksi bangunan tidak dapat dipertahankan.

Untuk jenis rehabilitasi berat, kriterianya mencakup tingkat kerusakan di atas 45-65 persen dan tidak rawan banjir setiap musim hujan. Adapun untuk rehab sedang, tingkat kerusakan hanya berada pada kisaran 20-45 persen, atap menggunakan baja ringan dan dalam kondisi baik serta pada umumnya kerusakan hanya di pintu dan jendela.

Ujang Arifin, Kepala Sekretariat Dinas Pendidikan DKI Jakarta, yang ikut mendampingi Didi menjelaskan bahwa gedung sekolah yang ada pada saat ini 46,60 persen di antaranya belum dilengkapi sarana penunjang pendidikan. Padahal, ketentuan sarana penunjang sudah diatur Permendiknas No 24/2008.

"Permendiknas mengatur standar sarana prasarana sebuah gedung sekolah yang di dalamnya memuat 7 ruang sarana penunjang. Kenyataan di lapangan, 820 gedung belum dilengkapi sarana penunjang," ujarnya. Jumlah tersebut, diungkapkan Ujang, terdiri dari 660 SDN, 105 SMPN, 28 SMAN, dan 16 SMKN.

Kondisi di lapangan juga memberikan kenyataan bahwa 18 persen gedung dalam kondisi ambruk, 22, 2 persen kondisi rusak berat, dan 13 persen kondisi rusak sedang.

Calon Guru Harus Ikuti Pendidikan Profesi

Selasa, 25 November 2008 | 15:55 WIB

JAKARTA, SELASA - Para calon guru akan menempuh cara berbeda dengan guru dalam jabatan untuk mendapatkan sertifikat sebagai pendidik. Jika guru dalam jabatan menempuh sertifikasi dengan model portofolio, calon guru yang sudah mendapatkan gelar sarjana nantinya harus melamar ke Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan atau LPTK terpilih untuk mengikuti pendidikan profesi guru.

Hal itu dikemukakan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Fasli Jalal, dalam rapat kerja dengan Panitia Adhoc III Dewan Perwakilan Daerah RI, Selasa (25/11). "Untuk guru mata pelajaran, lamanya pendidikan profesi satu tahun dan bagi guru taman kanak-kanak serta sekolah dasar selama enam bulan," ujar Fasli.

LPTK yang akan memberikan pendidikan profesi nantinya tidak sembarangan melainkan harus memenuhi persyaratan seperti pengalaman di bidang pendidikan, tenaga pengajar dan fasilitas. Menurut Fasli, sebetulnya pemerintah telah memulai pendidikan profesi tersebut pada tahun 2006 dan 2007. Namun, baru sebatas untuk guru prajabatan yang dinilai berprestasi dan melalui seleksi khusus. Kuotanya ditetapkan secara khusus oleh Menteri Pendidikan Nasional. Terdapat 790 guru yang telah terseleksi waktu itu.

Tingkatkan SDM, Guru Butuh Pendidikan Tinggi Jarak Jauh

Selasa, 2 September 2008 | 20:00 WIB

JAKARTA, SELASA - Pendidikan tinggi jarak jauh dengan kualitas akademik yang baik sangat dibutuhkan untuk peningkatan mutu sumber daya manusia, terutama kalangan guru. Namun, pilihan guru untuk menikmati layanan pendidikan tinggi masih terbatas akibat minimnya infrastruktur pendidikan. Padahal ada satu juta lebih guru yang harus meningkatkan kualifikasi pendidikan diploma IV atau S-1 hingga tahun 2015.

"Para guru ini kan diwajibkan untuk mencapai kualifikasi akademik D-IV/S-1, tetapi disyaratkan jangan sampai melalaikan kewajiban mengajar. Ini kan dilema buat guru. Solusinya ya harus ada pilihan pendidikan tinggi jarak jauh yang beragam dengan tetap mengutamakan kualitas akademik," kata Sulistyo, Ketua Umum Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Swasta Indonesia di Jakarta, Selasa (2/9).

Menurut Sulistyo, pemerintah harus segera mengatur penyelenggaraan pendidikan jarak jauh, terutama untuk melayani guru. Jika mengandalkan Universitas Terbuka saja, kemampuannya terbatas.

Selain menyediakan infrastruktur yang mendukung pengembangan pendidikan jarak jauh, semisal teknologi informasi dan komunikasi, juga perlu disiapkan supaya layanan pendidikan ini juga menyediakan modul-modul yang bisa dipahami untuk belajar mandiri. Dengan demikian, pendidikan tinggi untuk peningkatan kualitas guru yang berdampak dalam pengajarannya di kelas bisa tercapai.

Kemantapan UT di pusat itu belum tentu cerminan di daerah lain. Untuk tutor saja, masih ada yang guru SD-SMA yang kebetulan sudah S-1. Jadi perlu diatur mana perguruan tinggi yang siap dan mampu melaksanakan pendidikan jarak jauh. Itu harus dicek betul supaya terjamin kualitasnya. "Sebab, peningkatan kualitas akademik guru itu bukan untuk mengejar ijasah, tapi untuk membentuk guru yang bermutu sehingga pendidikan kita ada perbaikan," tambah Sulistyo.

1.000 Tenaga Pendidik Hadiri Kongres Guru Indonesia

Kamis, 27 November 2008 | 17:37 WIB

JAKARTA, KAMIS- Sekitar 1.000 guru dari seluruh Indonesia, Kamis(27/11), menghadiri Kongres Guru Indonesia (KGI) 2008 di Balai Kartini Jakarta. Kongres yang berlangsung hingga Jumat (28/11) besok itu tidak saja membahas metode mengajar, tetapi juga pemahaman dan toleransi pendidik serta peranan teknologi di dunia pendidikan.

"Kongres ini dapat menambah wawasan serta meningkatkan kualitas guru," kata Direktur Jendral Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional Baedowhi seusai meresmikan KGI 2008 di Balai Kartini Jakarta, Kamis (27/11).

Baedowhi mengatakan, untuk mengukur kualitas guru dapat dinilai berdasarkan tingkat kualifikasi dan kompetisi. Tingkat kualifikasi didasarkan atas pendidikan yang dijalani di bangku kuliah hingga setelah menjadi guru. Pendidikan tidak harus formal tetapi bisa pelatihan, seminar dan semacamnya.

Selanjutnya, tingkat kompetisi menjadi ukuran dalam menentukan kualitas guru. Seyogyanya, setiap guru harus melalui tes akademik sesuai dengan mata pelajaran yang akan diampu. Tes ini harus dijalankan di seluruh daerah tanpa terkecuali. Harapannya agar siswa secara maksimal mampu menyerap ilmu gurunya.

"Kualitas ini yang akan mempengaruhi tingkat keberhasilan murid dalam menyerap ilmu," tambah Baedowhi.

Kongres yang bertema "Think global, Act Local" diisi bermacam dialog yang melibatkan 38 pembicara, terdiri pengamat dan praktisi pendidikan. Selain itu, juga dimeriahkan oleh pameran dari berbagai sekolah.

Honor Tutor Naik

Jumat, 13 Februari 2009 | 04:45 WIB
JAKARTA, JUMAT - Honor tutor atau tenaga yang melayani pendidikan nonformal mulai tahun 2009 naik walaupun masih di bawah jumlah yang layak. Honor tutor yang sebelumnya Rp 50.000 per bulan sekarang naik menjadi Rp 100.000 per bulan.

Tutor adalah tenaga yang melayani pendidikan anak usia dini (PAUD) atau pendidikan paket A (setara sekolah dasar), paket B (setara SMP), dan paket C (setara SMA/SMK). Tutor bisa juga instruktur kursus maupun pelatih keterampilan di daerah-daerah terpencil yang tidak terlayani pendidikan formal.

Erman Syamsuddin, Direktur Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal (PTK-PNF), di Jakarta, Kamis (12/2), mengatakan, keberadaan pendidik dan tenaga kependidikan di pendidikan nonformal masih belum dianggap penting oleh pemerintah daerah maupun masyarakat.

Honor Rp 100.000 per bulan diakui masih jauh dari layak. Kekurangan diharapkan dipenuhi dari pemerintah daerah atau masyarakat.

”Namun, penghargaan pemerintah daerah juga masih minim. Tutor dianggap penting, tetapi kesejahteraannya masih terabaikan,” kata Erman.

Dari sekitar 130.000 tutor atau tenaga pendidikan, baru sekitar 10 persen yang berstatus pegawai negeri sipil. ”Selama ini tidak ada standar dalam pemberian gaji atau kesejahteraan mereka,” ujarnya menjelaskan.

Dengan adanya kenaikan anggaran pendidikan 20 persen, peningkatan insentif juga diberikan kepada tutor atau pendidik yang melayani di institusi pendidikan nonformal. Mulai tahun 2009, pemerintah pusat menaikkan honor tutor PAUD dari Rp 50.000 per bulan menjadi Rp 100.000 per bulan. Insentif itu diberikan untuk 50.000 tutor PAUD informal.

Selain itu, bantuan insentif juga diberikan kepada penilik berupa insentif Rp 100.000 per bulan. Insentif ini diberikan untuk 6.955 penilik. Adapun untuk tenaga lapangan pendidikan masyarakat (TDL) dan fasilitator desa insentif (FDI) diberikan insentif Rp 850.000 per bulan.

Erman mengatakan, pemerintah daerah mesti memerhatikan peningkatan mutu dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan di lembaga-lembaga pendidikan nonformal. Sebab, keberadaan para tutor ini juga untuk mendukung perbaikan kualitas sumber daya manusia di daerah, bahkan mampu menjangkau masyarakat di daerah terpencil yang tidak terlayani pendidikan formal.

Menyangkut peningkatan mutu tutor, kata Erman, pemerintah mengajak akademisi dari 15 perguruan tinggi untuk ikut membantu peningkatan kompetensi para tutor dan tenaga kependidikan di pendidikan nonformal.

Suparman, Ketua Umum Forum Guru Independen Indonesia, mengatakan, dalam upaya peningkatan mutu dan kesejahteraan para pendidik, tidak boleh ada dikotomi antara yang pegawai negeri dan swasta, serta guru formal dan nonformal.

”Perhatian harus diberikan pada tutor di pendidikan nonformal,” ujar Suparman. (ELN)

Mendiknas Canangkan Pendidikan Gratis di Sulsel

Jumat, 6 Juni 2008 | 17:01 WIB

MAKASSAR, JUMAT - Menindaklanjuti janji-janji kampanye Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, Jumat (6/6), di Makassar mencanangkan pendidikan gratis untuki provinsi tersebut.

Pencanangan ditandai dengan penandatangan prasasti oleh Mendiknas di Rumah Jabatan Gubernur, disaksikan Syahrul Yasin Limpo. "Inilah provinsi pertama yang serius melaksanakan pendidikan gratis," ujar Mendiknas Bambang Sudibyo.

Semula, pencanangan hanya dirancang sebagai uji coba pada 11 kabuapten/kota. Namun, kemarin sudah tercakup langsung 23 Kabupaten/kota se-Sulsel. Mendiknas mengharapkan pelaksanaannya berjalan dengan baik dan berhasil sehingga Sulsel kelak dijadikan model secara nasional.

Komponen-komponen pembiyaan yang digratiskan yaitu pembayaran seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru; pembelian buku teks pelajaran buku referensi lainnya; pembelian bahan-bahan habis pakai; pembiayaan kegiataan kesiswaan; pembiayaan ulangan harian, ulangan umum dan ujian sekolah; pengembangan profesi guru; pembiayaan perawatan sekolah; pembiayaan langganan daya dan jasa (listrik,air,telepon); pembiayaan honorarium bulanan guru honorer dan tenaga pendidikan honorer sekolah; pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin dari dan ke sekolah.

Khusus untuk pesantren dan sekolah keagamaan nonmuslim, pendidikan gratis dapat digunakan untuk biaya asrama/pondokan dan peralatan ibadah; pembiayaan pengelolaan pendidikan gratis: alat tulis kantor, penggandaan, surat menyurat dan lain-lain; insentif bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.

Bila terdapat sisa dana dan mencukupi, akan digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran dan mobiler. Pada kesempatan tersebut Mendiknas menyerahkan bantuan mobil Taman Bacaan Tahap Pertama kepada 7 kabupaten di Sulsel yaitu Jeneponto, Sinjai, Bulukumba, Barru, Wajo, Bone, dan Pangkep.

UN, Ada yang Perlu Didiskusikan

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Panitia ujian nasional membongkar soal untuk ujian nasional tingkat sekolah menengah pertama di SMP 2 Bandung, sebelum didistribusikan ke tingkat subrayon masing-masing SMP di Kota Bandung, Minggu (4/5). Hari Senin ini, pelaksanaan ujian nasional tingkat SMP serentak dilakukan di seluruh Indonesia.
Senin, 5 Mei 2008 | 00:49 WIB

Ester Lince Napitupulu

Penyelenggaraan ujian nasional dari tahun ke tahun tak pernah berhenti menuai kontroversi. Wacana yang mencuat pada pelaksanaan ujian nasional tahun ini berada di pusaran tuntutan untuk mengevaluasi ujian nasional seperti yang diperintahkan pengadilan tinggi dan ujian nasional sebagai ujian kejujuran semua pemangku kepentingan pendidikan.

Jauh hari sebelum pelaksanaan ujian nasional (UN), Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo gencar mewacanakan bahwa UN bukan sekadar menguji kompetensi siswa dan sekolah, namun yang justru terpenting apakah ada kejujuran selama pelaksanaannya. Pernyataan UN sebagai ujian kejujuran bagi semua pemangku kepentingan pendidikan itu bahkan ditindaklanjuti dengan ketegasan untuk memidanakan siapa saja yang berani menodai kredibilitas penyelenggaraan UN.

Ketika gong UN dimulai dengan pelaksanaan UN SMA sederajat pada 22-24 April lalu, ternyata tetap menuai masalah. Kecurangan terus terjadi dan itu semakin menegaskan bahwa peluang terbesarnya ada di sekolah, terutama oleh guru dan kepala sekolah yang seharusnya menjaga citra pendidikan.

Kenyataan ini semakin menguatkan tuntutan supaya ada evaluasi serius tentang pelaksanaan UN. Kecurangan yang dilakukan guru demi alasan apa pun sepakat dinyatakan menyalahi hukum. Tetapi, gugatan kemudian berkembang, kenapa pemerintah tak juga mau mengevaluasi penyelenggaraan UN yang setiap tahun selalu membuahkan persoalan yang tidak kondusif bagi kemajuan pendidikan itu?

Yang juga dipertanyakan adalah masalah ketidakpercayaan pemerintah yang begitu besar kepada guru dan sekolah. Seakan-akan buah pendidikan yang dinilai pemerintah belum memuaskan itu harus menjadi tanggung jawab pendidik.

Sementara itu, pembelajaran yang tercipta di sekolah-sekolah lebih pada menyiapkan siswa untuk mampu lolos dari UN. Padahal, pendidikan yang diharapkan itu yang mampu membuat siswa sungguh-sungguh memahami apa yang dipelajarinya sehingga berguna untuk kehidupan dan masa depannya kelak.

S Hamid Hasan, pakar evaluasi kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia, menjelaskan, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional membenarkan negara dan lembaga independen melakukan evaluasi pendidikan. Akan tetapi, evaluasi yang dimaksud adalah untuk menilai kualitas satuan pendidikan. Adapun untuk menilai hasil belajar siswa, termasuk menentukan lulus atau tidak, tetap merupakan wewenang guru dalam satuan pendidikan.

”Ujian nasional menetapkan keberhasilan orang atas dasar nilai yang diperoleh saat itu atau istilahnya single score. Ini bertentangan dengan prinsip evaluasi dan konstitusi pendidikan,” ujar Hamid.

Perlu dipaksa

Pada Hari Pendidikan Nasional kemarin, Bambang Sudibyo dengan gamblang menjelaskan pertimbangan pemerintah mempertahankan kebijakan UN. Penyelenggaraan UN dinilai mampu ”memaksa” siswa dan guru untuk disiplin belajar sehingga mampu mencapai standar kompetensi lulusan yang ditetapkan pemerintah demi mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia.

”Masyarakat kita itu perlu dipaksa dulu untuk mau belajar. Inilah mengapa UN itu mampu membuat semua pihak jadi sungguh-sungguh belajar. Jika semua sekolah sudah bagus mutunya, UN tidak diperlukan lagi,” kata Bambang.

Pemerintah, kata Bambang, sangat memahami terjadinya pro-kontra pelaksanaan UN. Kalangan yang menolak UN dinilai mungkin menganggap sekolah di Indonesia sudah cukup baik dan guru serta sekolah bisa mengukur kemampuan siswanya sendiri.

”Saya justru berkeyakinan, ujian nasional itu tetap perlu karena guru dan siswa kita masih perlu dipaksa untuk mau disiplin belajar,” kata Bambang.

Alasan lain UN dipertahankan, menurut Bambang, karena hasilnya mampu meningkatkan penilaian Indonesia di antara negara-negara internasional. Selain itu, dengan ketekunan belajar, tawuran di antara pelajar juga semakin berkurang.

Rata-rata capaian UN SMP dan SMA secara nasional terus meningkat. Pada tahun 2004 di tingkat SMP rata-rata 5,26 pada tahun lalu menjadi 7,02, sedangkan di SMA dari rata-rata 5,31 menjadi 7,14.

Penyelenggaraan UN diakui memang mampu membuat sekolah dan siswa belajar maksimal. Tetapi, belajar yang terjadi sering kali dalam bentuk drilling dan try out. Akibatnya, makna belajar sering kali tereduksi hanya untuk lolos dari ujian.

Inilah sisi lain yang perlu diperbaiki dari UN. Berbagai pihak mestinya duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini.

Standar UN Dinaikkan, Sejumlah Guru Mengaku Tak Sanggup

Senin, 14 April 2008 | 20:24 WIB

PURBALINGGA, SENIN-Sejumlah guru sekolah menengah atas di Purbalingga dan Banyumas mengaku tak sanggup untuk mempersiapkan siswa menghadapi ujian nasional yang akan diselenggarakan 22 April mendatang. Hal itu menyusul naiknya standar UN dari 5,00 menjadi 5,25 ditambah dengan bobot soal yang cukup sulit.

Prasetyo, guru SMA Negeri 1 Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Senin (14/4), mengaku, tak hanya siswa yan g pusing menghadapi UN kali ini, para guru juga dibuat pusing. Terlebih lagi, jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN, bertambah dari empat mata pelajaran menjadi enam mata pelajaran.

Pelaksanaan UN, menurutnya, juga lebih cepat satu bulan dibandingkan tahun lalu yang diselenggarakan pada bulan Mei. Akibatnya, guru harus memadatkan mata pelajaran. "Karena dengan dimajukannya pelaksanaan UN pada bulan April ini, proses belajar mengajar satu semester hanya efektif berlangsung selama lima bulan," tuturnya.

Karenanya, dia mengaku pesimistis dapat mempersiapkan siswanya agar bisa lulus UN seluruhnya pada tahun ini. Tahun kemarin saja, ada 80 siswa dari 140 siswa di sekolah kami yang tidak lulus. "Bagaimana dengan sekarang," ujarnya.

Salah seorang pengurus Forum Interaksi Guru Banyumas, Agus Wahyudi, juga mengakui hal yang sama. Menurutnya, hampir seluruh SMA yang berada diluar Kota Purwokerto belum siap menghadapi UN tahun ini dengan standar yang terlampau tinggi. Contohnya pada tahun 2007, 25 persen sisw a SMA di Kecamatan Patikraja dan Rawalo tak lulus UN.

Sudah banyak guru SMA yang mengeluh dengan standar UN sekarang ini, terutama untuk SMA negeri yang berada di pinggiran kota maupun swasta. Mereka belum mampu karena kapasitas siswanya sendiri pun terba tas. "Hal itu sangat terlihat dari standar nem (nilai evaluasi murid) siswa yang masuk ke sekolah itu," tuturnya.

Meningkatnya standar kelulusan UN, lanjut Agus yang juga guru di SMA Negeri 1 Purwokerto, juga tak hanya membuat sulit guru dan siswa, melainkan juga orang tua siswa. Dengan standar kelulusan yang dinaikkan, para orang tua siswa pun harus mengeluarkan biaya lagi untuk meleskan anaknya di bimbingan belajar. "Biayanya untuk ini, tentu saja tidak sedikit," ucapnya.

Agus mengatakan, sejak pertama kali pun dirinya sudah meminta kepada pemerintah agar UN ditiadakan. Penerapan UN sama saja bertentangan dengan nilai pembelajaran. Nilai pembelajaran itu kan bagaimana guru mentransformasikan pengetahuan kepada siswa, dan bagaimana siswa memahaminya. "Bukan malah siswa diwajibkan untuk mengerjakan soal-soal pilihan ganda, dan mendapat nilai," tuturnya. (MDN)

Evaluasi Pembelajaran

A.Pengertian Evaluasi Pembelajaran

Sesungguhnya, dalam konteks penilaian ada beberapa istilah yang digunakan, yakni pengukuran, assessment dan evaluasi. Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan instrumen untuk melakukan penilaian. Unsur pokok dalam kegiatan pengukuran ini, antara lain adalahsebagai berikut:

1).tujuan pengukuran,

2).ada objek ukur,

3).alat ukur, (

4).proses pengukuran,

5).hasil pengukuran kuantitatif.

Sementara, pengertian asesmen (assessment) adalah kegiatan mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran atau membanding-bandingkan dan tidak sampai ke taraf pengambilan keputusan. Sedangkan evaluasi secara etimologi berasal dari bahasa Inggeris evaluation yang bertarti value, yang secara secara harfiah dapat diartikan sebagai penilaian. Namun, dari sisi terminologis ada beberapa definisi yang dapat dikemukakan, yakni:

a).Suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan sesuatu.

b).Kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan atas tujuan yang jelas.

c).Proses penentuan nilai berdasarkan data kuantitatif hasilpengukuran untuk keperluan pengambilan keputusan.

Berdasarkan pada berbagai batasan 3 jenis penilaian di atas, maka dapat diketahui bahwa perbedaan antara evaluasi dengan pengukuran adalah dalam hal jawaban terhadap pertanyaan “what value” untuk evaluasi dan “how much” untuk pengukuran. Adapun asesmen berada di antara kegiatan pengukuran dan evaluasi. Artinya bahwa sebelum melakukan asesmen ataupun evaluasi lebih dahulu dilakukan pengukuran

Sekalipun makna dari ketiga istilah (measurement, assessment, evaluation) secara teoretik definisinya berbeda, namun dalam kegiatan pembelajaran terkadang sulit untuk membedakan dan memisahkan batasan antara ketiganya, dan evaluasi pada umumnya diawali dengan kegiatan pengukuran (measurement) serta pembandingan (assessment).

Evaluasi merupakan salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran. Dengan penilaian, guruakan mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadian siswa atau peserta didik. Adapun langkah-langkah pokok dalam penilaian secara umum terdiri dari:

(1)perencanaan,

(2)pengumpulan data,

(3)verifikasi data,

(4)analisis data, dan

(5)interpretasi data.

Penilaian hasil belajar pada dasarnya adalah mempermasalahkan, bagaimana pengajar (guru) dapat mengetahui hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Pengajar harus mengetahui sejauh mana pebelajar (learner) telah mengerti bahan yang telah diajarkan atau sejauh mana tujuan/kompetensi dari kegiatan pembelajaran yang dikelola dapat dicapai. Tingkat pencapaian kompetensi atau tujuan instruksional dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan itu dapat dinyatakan dengan nilai

A.Tujuan dan Fungsi Evaluasi

Dalam konteks pelaksanaan pendidikan, evaluasi memiliki beberapa tujuan, antara lain sebagai berikut:

1).Untuk mengetahui kemajuan belajar siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.

2).Untuk mengetahui efektivitas metode pembelajaran.

3).Untuk mengetahui kedudukan siswa dalam kelompoknya.

4).Untuk memperoleh masukan atau umpan balik bagi guru dan siswa dalam rangka perbaikan.

Selain fungsi di atas, penilaian juga dapat berfungsi sebagai alat seleksi, penempatan, dan diagnostik,guna mengetahui keberhasilan suatu proses dan hasil pembelajaran. Penjelasan dari setiap fungsi tersebut adalah:

a).Fungsi seleksi. Evaluasi berfungsi atau dilaksanakan untuk keperluan seleksi, yaitu menyeleksi calon peserta suatu lembaga pendidikan/kursus berdasarkan kriteria tertentu.

b).Fungsi Penempatan. Evaluasi berfungsi atau dilaksanakan untuk keperluan penempatan agar setiap orang (peserta pendidikan) mengikuti pendidikan pada jenis dan/atau jenjang pendidikan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing.

c).Fungsi Diagnostik. Evaluasi diagnostik berfungsi atau dilaksanakan untuk mengidentifikasi kesulitan belajar yang dialami peserta didik, menentukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan belajar, dan menetapkan cara mengatasi kesulitan belajar tersebut.

B.Penilaian Berbasis Kelas

Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian berkelanjutan, otentik, akurat, dan konsisten dalam kegiatan pembelajaran di bawah kewenangan guru di kelas. PBK mengidentifikasi pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan. Bila selama dekade terakhir ini keberhasilan belajar siswa hanya ditentukan oleh nilai ujian akhir (EBTANAS/UAN), maka dengan diberlakukannya PBK hal itu tidak terjadi lagi. Naik atau tidak naik dan lulus atau tidak lulus siswa sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru (sekolah) berdasarkan kemajuan proses dan hasil belajar siswa di sekolah bersangkutan. Dalam hal ini kewenangan guru menjadi sangat luas dan menentukan. Karenanya, peningkatan kemampuan profesional dan integritas moral guru dalam PBK merupakan suatu keniscayaan, agar terhindar dari upaya manipulasi nilai siswa.

PBK menggunakan arti penilaian sebagai “assessment”, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tentang hasil belajar siswa pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan pembelajaran. Data atau informasi dari penilaian di kelas ini merupakan salah satu bukti yang digunakan untuk mengukur keberhasilan suatu program pendidikan. PBK merupakan bagian dari evaluasi pendidikan karena lingkup evaluasi pendidikan secara umum jauh lebih luas dibandingkan PBK. (Lihat gambar 2).


Gambar 8.1: PBK sebagai bagian dari evaluasi

PBK mencakup kegiatan pengumpulan informasi tentang pencapaian hasil belajar siswa dan pembuatan keputusan tentang hasil belajar siswa berdasarkan informasi tersebut. Pengumpulan informasi dalam PBK dapat dilakukan dalam suasana resmi maupun tidak resmi, di dalam atau di luar kelas, menggunakan waktu khusus atau tidak, misalnya untuk penilaian aspek sikap/nilai dengan tes atau non tes atau terintegrasi dalam seluruh kegiatan pembelajaran (di awal, tengah, dan akhir). Di sekolah sering digunakan istilah tes untuk kegiatan PBK dengan alasan kepraktisan, karena tes sebagai alat ukur sangat praktis digunakan untuk melihat prestasi siswa dalam kaitannya dengan tujuan yang telah ditentukan, terutama aspek kognitif.

Bila informasi tentang hasil belajar siswa telah terkumpul dalam jumlah yang memadai, maka guru perlu membuat keputusan terhadap prestasi siswa:

1).Apakah siswa telah mencapai kompetensi seperti yang telah ditetapkan?

2).Apakah siswa telah memenuhi syarat untuk maju ke tingkat lebih lanjut?

3).Apakah siswa harus mengulang bagian-bagian tertentu?

4).Apakah siswa perlu memperoleh cara lain sebagai pendalaman (remedial)?

5).Apakah siswa perlu menerima pengayaan (enrichment)?

6).Apakah perbaikan dan pendalaman program atau kegiatan pembelajaran, pemilihan bahan ajar atau buku ajar, dan penyusunan silabus telah memadai?

Pada pelaksanaan PBK, peranan guru sangat penting dalam menentukan ketepatan jenis penilaian untuk menilai keberhasilan atau kegagalan siswa. Jenis penilaian yang dibuat oleh guru harus memenuhi standar validitas dan reliabilitas, agar hasil yang dicapai sesuai dengan apa yang diharapkan. Untuk itu, kompetensi profesional bagi guru merupakan persyaratan penting. PBK yang dilaksanakan oleh guru, harus memberikan makna signifikan bagi orang tua dan masyarakat pada umumnya, dan bagi siswa secara individu pada khususnya, agar perkembangan prestasi siswa dari waktu ke waktu dapat diamati (observable) dan terukur (measurable). Di samping itu, dengan dilaksanakannya PBK diharapkan dapat:

a).Memberikan umpan balik bagi siswa mengenai kemampuan dan kekurangannya, sehingga menumbuhkan motivasi untuk memperbaiki prestasi belajar pada waktu berikutnya;

b).Memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar siswa, sehingga memungkinkan dilakukannya pengayaan dan remediasi untuk memenuhi kebutuhan siswa sesuai dengan perkembangan, kemajuan dan kemampuannya;

c).Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarannya di kelas apabila terjadi hambatan dalam proses pembelajaran;

d).Memungkinkan siswa mencapai kompetensi yang telah ditentukan, walaupun dengan kecepatan belajar yang berbeda-beda antara masing-masing individu;

Memberikan informasi yang lebih komunikatif kepada masyarakat tentang efektivitas pendanaan, sehingga mereka dapat meningkatkan partisipasinya di bidang pendidikan secara serius dan konsekwen.

Prinsip-prinsip PBK

Sebagai bagian dari kurikulum berbasis kompetensi, pelaksanaan PBK sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan komponen yang ada di dalamnya. Namun demikian, guru mempunyai posisi sentral dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan kegiatan penilaian. Untuk itu, dalam pelaksanaan penilaianharus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

1).Valid

PBK harus mengukur obyek yang seharusnya diukur dengan menggunakan jenis alat ukur yang tepat atau sahih (valid). Artinya, ada kesesuaian antara alat ukur dengan fungsi pengukuran dan sasaran pengukuran. Apabila alat ukur tidak memiliki kesahihan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka data yang masuk salah sehingga kesimpulan yang ditarik juga besar kemungkinan menjadi salah.

2).Mendidik

PBK harus memberikan sumbangan positif pada pencapaian hasil belajar siswa. Oleh karena itu, PBK harus dinyatakan dan dapat dirasakan sebagai penghargaan untuk memotivasi siswa yang berhasil (positive reinforcement) dan sebagai pemicu semangat untuk meningkatkan hasil belajar bagi yang kurang berhasil (negative reinforcement), sehingga keberhasilan dan kegagalan siswa harus tetap diapresiasi dalam penilaian.

3).Berorientasi pada kompetensi

PBK harus menilai pencapaian kompetensi siswa yang meliputi seperangkat pengetahuan, sikap, dan ketrampilan/nilai yang terefleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Dengan berpijak pada kompetensi ini, maka ukuran-ukuran keberhasilan pembelajaran akan dapat diketahui secara jelas dan terarah.

4).Adil dan obyektif

PBK harus mempertimbangkan rasa keadilan dan obyektivitas siswa, tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, latar belakang budaya, dan berbagai hal yang memberikan kontribusi pada pembelajaran. Sebab ketidakadilan dalam penilaian, dapat menyebabkan menurunnya motivasi belajar siswa, karena merasa dianaktirikan.

5).Terbuka

PBK hendaknya dilakukan secara terbuka bagi berbagai kalangan (stakeholders) baik langsung maupun tidak langsung, sehingga keputusan tentang keberhasilan siswa jelas bagi pihak-pihak yang berkepentingan, tanpa ada rekayasa atau sembunyi-sembunyi yang dapat merugikan semua pihak.

6).Berkesinambungan

PBK harus dilakukan secara terus-menerus atau berkesinambungan dari waktu ke waktu, untuk mengetahui secara menyeluruh perkembangan siswa, sehingga kegiatan dan unjuk kerja siswa dapat dipantau melalui penilaian.

7).Menyeluruh

PBK harus dilakukan secara menyeluruh, yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik serta berdasarkan pada strategi dan prosedur penilaian dengan berbagai bukti hasil belajar siswa yang dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak.

8).Bermakna

PBK diharapkan mempunyai makna yang signifikan bagi semua pihak. Untuk itu, PBK hendaknya mudah dipahami dan dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Hasil penilaian hendaknya mencerminkan gambaran yang utuh tentang prestasi siswa yang mengandung informasi keunggulan dan kelemahan, minat dan tingkat penguasaan siswa dalam pencapaian kompetensi yang telah ditetapkan.

Selain harus memenuhi prinsip-prinsip umum penilaian, pelaksanaan PBK juga harus memegang prinsip-prinsip khusus sebagai berikut:

Apapun jenis penilaiannya, harus memungkinkan adanya kesempatan yang terbaik bagi siswa untuk menunjukkan apa yang mereka ketahui dan pahami, serta mendemonstrasikan kemampuan yang dimilikinya; Setiap guru harus mampu melaksanakan prosedur PBK dan pencatatan secara tepat prestasi yang dicapai siswa.

Keunggulan PBK

Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan salah satu komponen dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Penilaian ini dilaksanakan oleh guru secara variatif dan terpadu dengan kegiatan pembelajaran di kelas, oleh karena itu disebut penilaian berbasis kelas (PBK). PBK dilakukan dengan pengumpulan kerja siswa (portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja/penampilan (performance), dan tes tertulis (paper and pencil). Guru menilai kompetensi dan hasil belajar siswa berdasarkan level pencapaian prestasi siswa.Karenanya, PBK dapat dikatakan sebagai bentuk penilaian yang paling komprehensip.

Harus disadari oleh semua pihak, bahwa sesungguhnya guru itulah yang paling mengetahui kemampuan atau kemajuan belajar siswa, bukan kepala sekolah, pengawas, apalagi pejabat struktural di Departemen atau Dinas Pendidikan. Sebab, gurulah yang sehari-hari berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa di dalam kelas dan di lingkungan sekolah. Dengan demikian, PBK yang memberi kewenangan sangat leluasa kepada guru untuk menilai siswa merupakan suatu keunggulan agar diperoleh hasil belajar yang akurat sesuai dengan kemampuan siswa yang sebenarnya. Selain itu, di dalam PBK guru tentu tidak dapat menilai sekehendak hatinya, melainkan harus menyampaikan secara terbuka kepada siswa untuk menyepakati bersama kompetensi yang telah dicapai oleh siswa dan standar nilai yang diberikan oleh guru.

Pelaksanaan PBK

Penilaian dilakukan terhadap hasil belajar siswa berupa kompetensi sebagaimana yang tercantum dalam KBM setiap mata pelajaran. Di samping mengukur hasil belajar siswa sesuai dengan ketentuan kompetensi setiap mata pelajaran masing-masing kelas dalam kurikulum nasional, penilaian juga dilakukan untuk mengetahui kedudukan atau posisi siswa dalam 8 level kompetensi yang ditetapkan secara nasional.

Penilaian berbasis kelas harus memperlihatkan tiga ranah yaitu: pengetahuan (koknitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotorik) Ketiga ranah ini sebaikanya dinilai proposional sesuai dengan sifat mata pelajaran yang bersangkutan. Sebagai contoh pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (Al-Quran, Aqidah-Akhlaq, fiqh, dan tarikh) penilaiannya harus menyeluruh pada segenap aspek kognitif, afektif dan psikomotorik,dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan siswa serta bobot setiap aspek dari setiap materi. Misalnya kognitif meliputi seluruh mata pelajaran, aspek afektif sangat dominan pada materi pembelajaran akhlak, PPkn, seni. Aspek psikomotorik sangat dominan pada mata pelajaran fiqh, membaca Al Quran, olahraga, dan sejenisnya. Begitu juga halnya dengan mata pelajaran yang lain, pada dasarnya ketiga aspek tersebut harus dinilai.

Hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian adalah prinsip kontinuitas, yaitu guru secara terus menerus mengikuti pertumbuhan, perkembangan dan perubahan siswa. Penilaiannya tidak saja merupakan kegiatan tes formal, melainkan juga:

1).Perhatian terhadap siswa ketika duduk, berbicara, dan bersikap pada waktu belajar atau berkomunikasi dengan guru dan sesama teman;

2).Pengamatan ketika siswa berada di ruang kelas, di tempat ibadah dan ketika mereka bermain;

3).Mengamati siswa membaca Al-Qur an dengan tartil (pada setiap awal jam pelajaran selama 5 – 10 menit)

Dari berbagai pengamatan itu ada yang perlu dicatat secara tertulis terutama tentang perilaku yang ekstrim/menonjol atau kelainan pertumbuhan yang kemudian harus diikuti dengan langkah bimbingan. Penilaian terhadap pengamatan dapat digunakan observasi, wawancara, angket, kuesioner, sekala sikap dan catatan anekdot (anecdotal record).

DIY Optimistis Lebih Baik dari Tahun Lalu

Kamis, 24 April 2008 | 12:15 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS - Meskipun jumlah mata pelajaran yang diujikan bertambah dan standar nilai minimum kelulusan ujian nasional ditingkatkan, Dinas Pendidikan DI Yogyakarta tetap optimistis tingkat kelulusan UN 2008 akan lebih baik dari tahun lalu. Namun, mereka tidak menetapkan target khusus.

"Target kelulusan ada di masing-masing sekolah karena mereka punya ukuran sendiri-sendiri berdasarkan kemampuan siswa maupun proses pembelajaran selama ini. Akan tetapi, secara umum harapan kami tingkat kelulusan meningkat dari tahun lalu," ujar Kepala Dinas Pendidikan DIY Suwarsih Madya, Rabu (23/4), di Yogyakarta.

Optimisme itu didasarkan pada persiapan UN yang dilakukan sekolah dan siswa jauh hari sebelum pelaksanaan UN. Namun, lanjut Suwarsih, jika ternyata hasil UN SMA/MA dan SMK 2008 nanti menunjukkan hasil yang berbeda dari harapan, berarti berbagai upaya persiapan yang telah dilakukan selama ini belum cukup optimal.

Menanggapi banyaknya keluhan siswa dan guru tentang sulitnya soal UN mata pelajaran Matematika, yang di luar perkiraan sebelumnya, Suwarsih menyatakan belum bisa disimpulkan bahwa secara umum soal UN mata pelajaran Matematika memang sulit dan di luar kemampuan siswa.

Sebab, keluhan tersebut sampai sejauh ini baru datang dari beberapa sekolah di daerah pinggiran. Meski demikian, pihaknya akan menindaklanjuti keluhan itu dengan segera mengumpulkan data soal dan melakukan evaluasi.

"Bila di sekolah yang unggul input-nya ternyata soal itu juga dirasakan sulit, berarti memang ada yang salah dengan soalnya. Orang pusat yang bikin soal harus koreksi diri," ucap Suwarsih. Tak jamin masa depan

Sebagian siswa mengaku cukup lega sudah melewati lebih dari separuh pelaksanaan UN. Meski kesulitan mengerjakan soal Matematika di hari pertama, kepercayaan diri mereka berangsur pulih karena soal yang diujikan di hari kedua relatif lebih mudah. "Tinggal satu hari lagi, mudah-mudahan lancar. Insya Allah lulus," kata Rima (18), siswi XII IPA SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta.

Kepala SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta HM Mahfudz mengungkapkan, dengan segala persiapan dan penyerahan diri pada Tuhan yang sudah dilakukan selama ini, ia optimistis siswa-siswinya akan berhasil. "Kalaupun ada yang tidak lulus, itu harus dilihat sebagai hikmah Tuhan. Lulus atau tidak dalam UN belum tentu menjamin masa depan seseorang," katanya. (RWN/DYA)

UN Jangan Jadi Acuan

Senin, 19 Mei 2008 | 00:42 WIB

PALUPI PANCA ASTUTI

Sebagai bagian dari komponen evaluasi pendidikan, publik setuju apabila ujian nasional dipakai sebagai tolok ukur kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, ujian nasional sebaiknya jangan dijadikan acuan atau dasar kelulusan siswa, tetapi kelulusan siswa mengikuti standar sekolah yang bersangkutan.

Hal itu terangkum dalam jajak pendapat terhadap 871 pemilik telepon rumah di 10 kota besar pada 7-9 Mei 2008. Sebanyak 70 persen responden setuju apabila ujian nasional (UN) dilaksanakan dengan tujuan penyeragaman mutu pendidikan. Meski demikian, 75 persen responden mengingatkan hal ini menjadi tugas berat pemerintah karena beragamnya mutu pendidikan di Tanah Air.

UN saat ini lebih berkaitan dengan dimensi kognitif atau akademik siswa. Padahal, pendidikan pada hakikatnya adalah upaya mengubah perilaku peserta didik. Dalam prosesnya, perubahan perilaku membutuhkan banyak aspek penanganan, meliputi aspek kognitif, sikap (afektif), dan keterampilan gerak (psikomotorik). Sementara UN cenderung mengabaikan dimensi afeksi dan psikomotorik.

Dilaksanakannya UN membuat sekolah-sekolah melakukan model belajar drilling, memaksa peserta didik terus-menerus berlatih soal mata pelajaran yang akan diujikan. Siswa dipaksa menghafal beragam tipe soal dan rumus, tanpa harus memikirkan logika soal yang dihadapi atau kritis terhadap permasalahan yang ia hadapi. Potensi otak yang sangat luar biasa pun menjadi terlatih berpikir konvergen, yaitu berpikir secara menyempit. Setiap masalah yang muncul hanya butuh satu jawaban, tak ada alternatif. Sekolah hanya sebagai tempat ujian, bukan wahana mengasah akal budi.

Di sisi lain, penyamarataan soal-soal UN merugikan sekolah dan peserta didik yang belum mencapai taraf pembelajaran setingkat yang diujikan UN.

UN per jenjang

Jika melihat kenyataan mutu pendidikan Indonesia yang bervariasi, semestinya evaluasi pendidikan tidak bersifat standar di seluruh daerah. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), tahun 2006-2007 sekitar 285.000 guru sekolah menengah atas (SMA) memiliki tingkat pendidikan akhir yang beragam mulai dari diploma tiga (D-3) hingga strata 1 (S-1).

Namun, kenyataan itu tidak memengaruhi pendapat publik tentang perlunya ujian nasional dan keseragaman soal dalam UN. Hal ini dibuktikan dengan jumlah responden yang setuju pelaksanaan UN di seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah yang lebih banyak daripada yang tidak setuju. Jika dilihat per jenjang, hanya 11 persen responden tidak setuju terhadap pelaksanaan ujian nasional SMA. Sementara pada sekolah menengah pertama (SMP) kurang dari sepertiga responden tidak setuju UN. Hanya terhadap pelaksanaan UN di jenjang sekolah dasar (SD) publik tampak ragu. Di kategori ini, meski jumlah yang setuju tetap lebih besar, yaitu 60 persen, selebihnya menyatakan tidak setuju dan ragu-ragu.

Walaupun indikasi setuju cukup kuat, hal ini tidak menutupi keresahan publik. Tidak semua sekolah telah mencapai kompetensi seperti yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian, terhadap standardisasi tingkat kesulitan butir soal, tanggapan responden cukup berimbang. Mereka yang setuju terhadap penyeragaman soal sekitar 53 persen dan yang tidak setuju mencapai 45 persen.

Di samping itu, menurut teori kecerdasan majemuk dari Gagne, tidak semua orang berpotensi menjadi ahli Matematika, Bahasa Inggris, atau mata pelajaran lain yang diujikan dalam UN. Bagi jago olahraga, misalnya, UN adalah monster. Hal itu karena jika mereka tak lulus UN, pupuslah langkah mereka ke pendidikan berikutnya.

Penggunaan hasil nilai UN untuk menentukan kelulusan ditanggapi secara kontroversial oleh publik. Responden yang menerima 49,6 persen dan yang menolak 49,7 persen. Mereka yang menolak, terutama tergambar pada orangtua yang memiliki anak yang bersekolah di SLTA dan kalangan responden berpendidikan tinggi (perguruan tinggi). Pendapat setuju lebih banyak dilontarkan responden berpendidikan SLTP ke bawah.

UN, sesuai namanya, adalah bagian dari evaluasi pendidikan secara nasional. Namun, jika UN ditetapkan sebagai penentu kelulusan siswa, ia bisa dianggap algojo yang mengeksekusi nasib dan masa depan ribuan siswa yang tidak lulus. (Litbang Kompas)

Alam sebagai Media Pembelajaran

Selasa, 6 Mei 2008 | 15:28 WIB

Keprihatinan terhadap kondisi alam ini sudah sering dialami dan dirasakan. Namun, pernahkah terlintas di benak gagasan atau ide untuk memberikan solusi alternatif demi menyelamatkan alam ini dari segala bentuk kerusakan.

Pada zaman sekarang ini, ternyata masih ada orang-orang yang peduli akan alam ini. Mereka adalah warga Dusun Tangkil, Muntilan. Atas bimbingan dari Romo Suprihadi Pr dan Romo V Kirjito Pr, mereka membangun misi penyelamatan alam, yakni dengan membentuk sebuah tim yang disebut dengan tim edukasi 'tuk mancur'.

Anggota tim ini bukanlah dari kalangan profesional, melainkan penduduk Dusun Tangkil yang bekerja sebagai petani. Misi penyelamatan tim edukasi tuk mancur berupa pengenalan kepada peserta tentang alam Merapi, sehingga para peserta mampu melihat segala anugerah dari alam ini sekaligus keprihatinan yang ada.

Kegiatan pengenalan dikemas dengan cara live in. Peserta akan tinggal di rumah penduduk dan hidup bersama dengan keluarga- keluarga Dusun Tangkil.

Keesokan harinya peserta diajak untuk menjelajah dengan menggunakan rute sungai berdasarkan kelompok yang telah dibagi beserta pembimbing dari tim tuk mancur. Rute sungai yang dimaksud adalah menyusuri sungai dengan berjalan melawan arah aliran air.

Pada awal penjelajahan peserta akan merasakan kesegaran air yang mengalir dari sumber mata air. Penyusuran sungai dengan melawan arus air, tidak jarang membuat kami harus bekerja keras dan menjaga kekompakan satu sama lain. Pasalnya, ada beberapa medan yang memerlukan kerja sama untuk melaluinya, yakni dua tebing dengan aliran air setinggi lebih kurang 1,5 meter.

Perjuangan itu menjadi sesuatu yang menantang dan menyenangkan. Kami harus berusaha keras untuk meraih sesuatu. Tidak ada hal yang terlalu sulit jika dikerjakan bersama-sama.

Setelah melalui sungai yang begitu panjang dan deras alirannya, kami berkeliling melihat kekayaan alam yang sangat menakjubkan yaitu Pedhotan Sewu.

Pedhotan Sewu adalah sebuah lorong bertebing di sisinya yang memiliki fungsi untuk memperlancar aliran air. Konon, Pedhotan Sewu berasal dari sebuah batu besar dan dibelah nenek moyang dengan alat seadanya dan sederhana. Peninggalan ini menunjukkan betapa besar perjuangan dari leluhur untuk melestarikan dan mempertahankan kehidupan dengan air.

Berbagai keindahan telah kami saksikan di sepanjang penjelajahan, kini perasaan berganti menjadi prihatin. Keprihatinan ini muncul karena melihat bongkahan batu tersebar di mana-mana dan sungai yang telah kering.

Kerusakan itu karena penambangan liar segelintir orang yang menggunakan alat-alat berat. Sumber daya alam di sekitar lereng Merapi cepat habis karena diambil terus-menerus dalam jumlah yang besar.

Hal ini sebuah keprihatinan bersama sekaligus tugas sebagai remaja untuk mampu melihat dan memberikan empati yang lebih dengan menawarkan cara-cara untuk menanggulangi kerusakan alam.

Akhir penjelajahan adalah makan nasi doa. Nasi doa adalah menu makanan lauk beserta nasi organik yang cara penanamannya tidak memakai bahan kimia apa pun. Tentu hal ini tidaklah mudah dan tingkat keberhasilannya cukup kecil, tetapi rasa yang dihasilkan berbeda dengan nasi biasa. Dari sini terlihat jelas jasa petani yang begitu besar dalam menyediakan bahan pangan.

Jika kalian tertarik, datang saja ke Dusun Tangkil, tepatnya di Muntilan. Di sana kalian akan benar-benar merasakan kesatuan dengan alam dan menambah rasa kecintaan akan alam ini melalui berbagai hal yang diberikan tim edukasi tuk mancur. Warga akan menyambut kalian dengan ramah dan suka cita, begitu pula dengan alam lereng Merapi. (Dictus/SMA Seminari Mertoyudan)

Menkominfo Buka Pembelajaran Jarak Jauh Pesantren

Senin, 7 April 2008 | 13:10 WIB

Laporan wartawan Kompas Imam Prihadiyoko

JAKARTA, SENIN- Menteri Informasi dan Komunikasi Muhammad Nuh, Senin (7/4), membuka peluncuran "Program Open, Distance, dan E-learning", untuk transformasi masyarakat Islam melalui pesantren di Jakarta. Menurut Nuh, tema yang diangkat dalam kesempatan ini adalah tema besar yang selalu relevan dan tidak pernah rampung.

"Tugas besar kita adalah transformasi dengan cara yang beragam. Tapi subtansinya adalah transformasi itu," ujarnya. Namun, menurut Nuh, dalam pembelajaran jarak jauh juga diperlukan ide. Ide yang sangat menonjol ditentukan oleh kretifitas berpikir.

"Yang tidak punya kreatifitas, tidak akan punya ide. Dan salah satu syarat kreatifitas adalah kebebasan. Tapi kebebasan akan kena hukum kebebasan yang lain. Kebebasan itu dibatasi oleh koridor agar tidak kebablasan," ujarnya.

Media Multimedia Memudahkan Siswa

Senin, 3 Maret 2008 | 17:39 WIB

Semarang, Kompas - Penerapan media pembelajaran multimedia di sekolah akan memudahkan guru untuk menerangkan materi pelajaran. Berbagai obyek dapat divisualisasikan sehingga siswa mudah memahami materi pelajaran.

Hal itu terungkap dalam seminar nasional "Meraih Sukses Pembelajaran dengan Optimalisasi Multimedia Interaktif", Sabtu (1/3) di Universitas Dian Nuswantoro Semarang.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Romi Satrio Wahono mengatakan, penyampaian materi dengan media pembelajaran multimedia memiliki sejumlah keunggulan.

"Penyampaian materi dalam bentuk visual dan suara membuat pelajaran lebih menarik. Siswa cepat paham sehingga pelajaran akan berlangsung lebih efektif dan efisien," kata salah satu pembicara di seminar tersebut.

Roni mencontohkan, dengan bantuan perangkat multimedia, siswa dapat diajak untuk membayangkan lapisan matahari sekaligus lapisan- lapisan itu dalam visualisasi di layar komputer.

Meskipun demikian, penerapan media pembelajaran multimedia di Indonesia belum populer. Menurut Roni, ada sejumlah kendala dalam penerapan media pembelajaran multimedia di sekolah.

Kendala utama terletak pada kurangnya infrastruktur. Masih banyak sekolah di Indonesia yang belum dilengkapi dengan perangkat komputer.

Kendala lain, kesiapan guru untuk beralih ke multimedia. Tidak semua guru mampu memindahkan materi pelajaran ke dalam program komputer. Romi mengusulkan agar pengelola sekolah membentuk semacam unit multimedia yang bertugas membuat program bagi para guru.

"Pekerjaan guru tidak sedikit. Sangat dipahami kalau dia tidak punya waktu untuk belajar membuat program," katanya.

Menurut Joko Triyono, guru seni budaya dari SMAN I Prembun, Kebumen, para siswa lebih berminat untuk belajar gamelan setelah ia memakai perangkat multimedia di kelasnya. Ia membuat program "Apresiasi Gamelan" yang berisi materi pelajaran gamelan mulai dari teori hingga praktik.

"Siswa sanggup memainkan berbagai alat musik yang ada di layar komputer," ujar Joko. Dia adalah peraih medali perak dalam lomba pembuatan media pembelajaran tahun 2006, dari Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk program pelajaran bermain gamelan yang dibuatnya itu. (A09)

Guru Butuh Pelatihan Kreativitas

Rabu, 18 Februari 2009 | 20:16 WIB

JAKARTA, RABU — Pembelajaran di dalam kelas yang menarik dan menyenangkan bagi siswa masih sulit ditemukan di sekolah-sekolah. Persoalannya karena guru-guru belum mampu mengembangkan kreativitas mereka untuk menciptakan dan memanfaatkan bahan ajar yang sebenarnya tidak asing bagi siswa.

"Proses belajar-mengajar bisa dikembangkan menjadi sangat menarik hanya dengan menggunakan alat bantu belajar yang terbuat dari barang bekas. Banyak guru yang baru paham dan menyadari hal ini jika sudah diberi pelatihan. Karena itu, pelatihan yang memancing kreativitas guru perlu ditingkatkan," ujar Rifa Ariani, Direktur Sekolah Global Mandiri Cibubur di Jakarta, Rabu (18/2).

Sekolah Global Mandiri dalam beberapa tahun belakangan ini sering berbagi ilmu dan pengalaman dengan guru-guru yang berada di daerah melalui sebuah program pelatihan yang bertemakan Peningkatan Mutu Pendidikan Tingkat SD dengan Metode Pembelajaran Menggunakan Barang Bekas. Para guru di daerah itu diberi buku berjudul Berbagi, Ceria dan Kreatif Menggunakan Barang Bekas Sebagai media Pembelajaran Yang Menarik.

Program pelatihan mampu mengejutkan para peserta karena mereka tidak menyangka bahwa ternyata proses mengajar dan belajar bisa dikembangkan menjadi sangat menarik hanya dengan menggunakan alat bantu belajar yang terbuat dari barang bekas. Salah satu contoh, alat bantu belajar untuk pelajaran matematika adalah tutup botol air mineral yang dibawahnya terdapat angka 0 hingga 9.

Alat ini dapat digunakan untuk mempelajari konsep perkalian, penjumlahan, pengurangan, dan sebagainya. Penggunaan alat bantu belajar yang terbuat dari barang bekas, apabila disajikan dalam suasana belajar yang menyenangkan, tentunya sangat selaras dengan program pemerintah yang menyarankan bahwa pembelajaran harus bersifat aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan, gembira, dan berbobot.

"Hasil yang didapat oleh para peserta diharapkan dapat ditularkan kembali kepada rekan guru di sekolah mereka masing-masing sehingga penyetaraan kualitas guru dapat dilakukan secara berantai," jelas Rifa.

Sementara itu, Jane Ross, guru dan Information dan Communication Technology Integrator dari Sinarmas World Academy, dalam acara Educator Sharing Network yang dilaksanakan Sampoerna Foundation Teacher Institute, mengatakan, minat belajar anak-anak bisa dipancing dengan memanfaatkan peralatan digital yang sering mereka manfaatkan.

"Sayangnya banyak guru yang tidak terpikir akan hal itu. Seperti internet, baru dimanfaatkan untuk browsing informasi saja. Padahal, media online ini bisa dimanfaatkan lebih lagi sebagai ajang kreasi dari belajar siswa," kata Jane.

Jane yang juga Apple Distinguished Educator ini mengembangkan pembuatan cerita anak di SD tempatnya mengajar lewat program digital story telling yang dinamakan Karya Anak Online. Siswa bisa memanfaatkan telepon seluler, webcam, kamera digital, atau komputer untuk bisa membuat film pendek berkisar 45 detik hingga dua menit yang berisi hal-hal yang disukai anak sebagai bagian dari pembelajaran di sekolah.

Jane mengatakan, guna meningkatkan literasi siswa hingga memiliki kemampuan untuk menulis yang baik, guru harus kreatif menciptakan pembelajaran di kelas dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Peralatan teknologi informasi dan komunikasi yang tidak asing bagi siswa, mulai dari internet, telepon seluler, dan kamera digital sebenarnya bisa digunakan untuk mendukung pembelajaran yang menyenangkan dan menumbuhkan kreativitas siswa dalam banyak hal.

Program digital story telling ini dikembangkan Jane karena risau dengan minimnya bacaan anak-anak yang berperspektif Indonesia. Penulis bacaan anak yang mampu mengisahkan keseharian hidup anak-anak Indonesia atau mampu menghasilkan bacaan anak sekelas novel Harry Potter dari hasil karya anak bangsa sangat minim.

"Kenapa tidak, upaya untuk melahirkan cerita anak khas Indonesia itu datang dari anak-anak sekolah. Kemajuan teknologi digital yang tidak asing dengan anak-anak akan membuat pembelajaran jadi menarik. Anak-anak akan belajar untuk bisa membuat cerita sendiri. Pelajaran lain juga bisa dibuatkan hal yang sama sehingga belajar yang menyenangkan itu bisa dialami anak-anak dari kehidupannya sehari-hari," ujar Jane.

Menurut Jane, kendala dalam pemanfaatan teknologi digital untuk alat belajar terutama karena kemampuan guru yang terbatas. Akibatnya, guru tidak mampu memanfaatkan teknologi sederhana yang tidak asing pada dunia anak sebagai alat untuk menciptakan pembelajaran kreatif.

Program Internet Goes To School, misalnya, perlu juga didukung dengan pelatihan tidak sekadar bagaimana bisa mengoperasikan internet dan mencari informasi secara tidak terbatas di dunia maya. Yang tidak kalah penting adalah melatih guru untuk mampu memanfaatkan internet untuk menemukan cara dan metode belajar yang memudahkan dan menyenangkan bagi siswa.